Fenomena ini adalah bentuk perlawanan rakyat terhadap rezim kartel politik dan kartel ekonomi yang mengendalikan kekuasaan. Perlawanan rakyat terhadap oligarki yang bersembunyi dalam kegelapan dan mendudukkan Jokowi dalam singgasana kekuasaan.
Agak sulit menggambarkan apa yang sebenarnya telah terjadi di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta Ahad (7/4). Tidak ada satupun kalimat yang bisa menggambarkan dengan tepat, karena banyaknya dimensi kegiatan tersebut. Tergantung dari sudut mana kita ingin menggambarkannya.
Sholat tahajud dilanjutkan sholat subuh berjamaah. Kebulatan tekad para ulama, kyai, habaib, ustadz, dan umat Islam. Aksi solidaritas antar-umat beragama. Unjuk kekuatan gelombang perubahan Indonesia. Pemecahan rekor kampanye politik terbesar di Indonesia. Reuni Akbar pendukung Prabowo-Sandi. Pesta rakyat, atau tamasya politik keluarga?
Semuanya benar. Itulah yang telah terjadi. Kalau boleh sedikit berbangga —mudah-mudahan tidak terjerumus menyombongkan diri—suasana semacam itu hanya bisa terjadi di Indonesia.
Lebih dari satu juta orang berkumpul. Dengan latar belakang suku, agama, politik dan kepentingan yang berbeda. Dan di tengah situasi bangsa yang terpecah, terpolarisasi dalam dua kubu politik yang saling berhadapan, namun bisa bisa berlangsung sangat tertib. Zero insident.
Lihatlah apa yang terjadi. Sejak Sabtu (6/4) malam sebagian massa sudah datang dan bermalam di seputar GBK. Ketika dinihari menjelang, massa yang mayoritas mengenakan busana putih-putih mulai mengalir dari delapan penjuru arah mata angin.
Tidak semuanya beragama Islam. Banyak non muslim yang juga sudah datang sejak dinihari. Sejumlah etnis Cina juga terlihat larut dalam arus massa yang menyemut. Mereka sebagian besar bermalam di hotel-hotel di sekitar kawasan Senayan.
Sekitar pukul 03.00 WIB lapangan GBK yang diubah sementara menjadi areal sholat sudah terlihat penuh. Lebih dari separuh tribun sampai bagian atas sudah terisi. Pada pukul 6.30 WIB semua tribun yang melingkari stadion sudah terisi penuh.
Sejak dinihari suasana GBK berubah menjadi seperti di Masjidil Haram di kota Suci Mekah. Suara takbir, tahlil, menggema. Tak lama setelah adzan subuh menggema sekitar pukul 04.39 WIB, terjadi pemandangan yang sulit kita temukan, termasuk di Masjidil Haram sekalipun.
Jemaah mulai melaksanakan shalat sunah, dilanjutkan shalat subuh berjamaah. Selain di lapangan, di tribun bagian Timur, Tenggara, Utara, dan Selatan terlihat khusuk menunaikan salat menghadap qiblat (tribun sisi Barat).
Pemandangan unik dan sangat langka terjadi di areal tribun. Jamaah menunaikan shalat sambil duduk di kursi masing-masing. Tak semuanya menunaikan shalat. Karena yang hadir memang tidak semuanya muslim.
Umat beragama lain ini terlihat duduk dengan tenang bersebelahan, menyaksikan saudara-saudaranya yang beragama Islam menunaikan salat. Mereka juga terlihat tetap duduk dengan sabar mengikuti rangkaian ritual berupa dzikir, salawatan, bahkan pembacaan Maulid Nabi.
Sebuah foto ikonik beredar di medsos. Seorang wanita, umat Kristiani ikut khusuk berdoa, di belakang dua muslimah yang sedang menunaikan shalat.
Inilah sebuah prinsip toleransi yang sangat dijunjung tinggi. Dalam Islam dikenal dengan prinsip “Untukmu agamamu, Untukku agamaku. Bagimu agamamu. Bagiku agamaku.” Tidak perlu dipersoalkan. Semua saling menghormati.
Ritual ibadah itu berlangsung sangat panjang. Kurang lebih 4 jam. Sejak pukul 03.00 Wib sampai pukul 07.00 Wib ketika acara kampanye dimulai.
Semua ritual berlangsung dalam tradisi kaum nahdliyin (NU). Shalat subuh diimami oleh Ketua Umum FPI Ustad Ahmad Sobri Lubis. Lengkap dengan doa qunut nazilah dalam versi pendek, mendoakan kemenangan dan kebaikan untuk Indonesia.
Padahal tidak semua yang hadir terbiasa melaksanakan qunut. Tokoh-tokoh Muhammadiyah Amien Rais, dan para petinggi PKS seperti Habib Salim Asegaf Al Jufri, tetap khusuk shalatnya. Sama sekali tidak terganggu, apalagi protes.
Persoalan khilafiyah (cabang) dalam ibadah seperti qunut, biasanya sering menjadi bahan pertentangan. Kali ini semuanya luruh. Sama sekali tak dipersoalkan.
Ketika kegiatan kampanye dimulai, bendera-bendera parpol pendukung berkibaran. Terlihat bendera Partai Demokrat paling menonjol. Bendera besar parpol besutan Susilo Bambang Yudhoyono itu terlihat memenuhi areal seputar panggung utama. Disusul PKS, PAN, dan Partai Berkarya. Bendera Partai Gerindra malah tidak terlihat terlalu mencolok.
Diluar parpol pendukung juga terlihat bendera PPP dan bendera Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI). Bendera gerakan yang dipimpin oleh mantan Presiden PKS Anis Matta itu kehadirannya cukup mencolok. Anis Matta bersama keluarga juga terlihat hadir di GBK.
Semuanya kompak, duduk tenang, melupakan perbedaan politik dan kepentingan masing-masing.
Muak terhadap kedzoliman
Bagaimana kita memahami “anomali” yang terjadi di GBK ini. Bagaimana kita menjelaskan, apa motivasi besar yang bisa menggerakkan mereka begitu sangat militan?
Bagaimana kita bisa menjelaskan fenomena aneh yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah perjalanan demokrasi Indonesia pasca reformasi.
Fenomena ini tidak kita temukan pada masa kampanye figur populis seperti SBY yang pernah menjabat presiden selama dua periode. Juga tidak kita temukan pada kampanye Jokowi pada Pilpres 2014, apalagi Pilpres 2019.
Ratusan ribu, bahkan jutaan orang datang berbondong-bondong, rela merogoh kantong sendiri. Menyewa di hotel-hotel berbintang sampai kelas melati di sekitar kawasan Senayan agar bisa datang lebih awal. Bermalam di berbagai masjid, musholla, dan sebagian bermalam di tenda-tenda, dan tempat terbuka di sekitar GBK.
Sejumlah pengusaha dan profesional menyediakan kantor-kantor mereka untuk penginapan sementara. Menyiapkan logistik berupa nasi bungkus, roti, jajanan dan minuman untuk dibagi-bagikan secara gratis kepada massa yang hadir. Dan yang lebih mengejutkan mereka juga mengumpulkan uang dalam kantung plastik, disumbangkan untuk kampanye Prabowo-Sandi.
Fenomena ini juga sangat sulit untuk kita jelaskan secara rasional. Kedermawanan dan kerelawanan yang luar biasa tinggi tanpa diorganisasi. Semua bergerak serentak dan sendiri-sendiri.
Jelas merupakan kesimpulan yang salah jika hanya melihatnya dari sisi kontestasi Pilpres 2019. Kontestasi antara Jokowi Vs Prabowo. Cara pandang semacam ini terlalu sempit.
Fenomena ini adalah bentuk perlawanan rakyat terhadap rezim kartel politik dan kartel ekonomi yang mengendalikan kekuasaan. Perlawanan rakyat terhadap oligarki yang bersembunyi dalam kegelapan di belakang Jokowi. Melakukan perlawanan terhadap oligarki yang mendudukkan Jokowi dalam singgasana kekuasaan.
Anomali di GBK adalah simbol kesadaran rakyat yang bangkit melawan kedzaliman dan ketidak-adilan. Simbol rakyat yang muak melihat ekonomi Indonesia yang terus memburuk. Muak melihat negara besar, dengan kekayaan alam yang melimpah, namun rakyatnya hidup menderita.
Muak melihat negara yang besar dan pernah jaya, menjadi kekuatan pinggiran yang tidak diperhitungkan oleh negara tetangga, apalagi dunia. Muak melihat sekelompok kecil orang yang menguasai hampir seluruh kekayaan Indonesia.
Muak melihat sekelompok kecil oligarki yang menyetir seorang kepala negara yang lemah dan tak punya visi yang jelas, mau dibawa kemana bangsa ini.
Muak melihat bangsa ini dipecah belah dan dibenturkan antar-sesama anak bangsa. Muak karena ulama dan umat beragama yang menjalankan keyakinannya, dicap sebagai ekstrim, radikal, anti NKRI, dan Pancasila.
Muak karena sekelompok orang termasuk Sang Presiden merasa paling Pancasilais, paling NKRI. Sementara kelompok yang tidak mendukungnya dianggap anti Pancasila dan anti NKRI.
Mereka unjuk kekuatan, melakukan perlawanan dalam damai dan riang gembira. Inilah people power, ala Indonesia!
Penulis: Hersubeno Arief