Gorontalo, mimoza.tv – Tahun 2016 silam, masih membekas di ingatan kita, Warung Tegal (Warteg) Ibu Saeni mendadak terkenal di awal-awal bulan puasa. Ini tidak lepas dari razia yang dilakukan Satpol PP terhadap warteg yang masih buka di siang hari bulan puasa waktu itu.
Razia ini jadi heboh. Penyebabnya, karena dalam satu media elektronik digambarkan bahwa ketika dirazia, Saeni yang merupakan pemilik Warteg menangis histeris seolah seperti korban yang terdzalimi oleh Satpol PP.
Akibatnya, media sosial heboh. Ada netizen yang langsung menggalang dana simpatik untuk Saeni. Hasilnya menggiurkan. Dalam waktu sekejap, ada dana lebih Rp200 juta terkumpul untuk seorang yang ternyata memiliki rumah megah di kampung halamannya itu.
Di tengah ramai-ramai berita penjual warteg Saeni terselip isu penghapusan peraturan daerah (Perda) yang dinilai pemerintah pusat bermasalah. Perda ini dihapus karena dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi.
Beberapa pihak menghubungkan kemunculan berita Saeni dan penghapusan perda mempunyai efek penghapusan perda yang “berbau agama”. Atau disebut juga Perda Syariah. Patut kita kaji lagi, apa sebenarnya Perda Syariah itu?
Sebenarnya beberapa cendekiawan muslim sudah banyak yang berbicara Perda Syariah atau formalisasi agama dalam bentuk regulasi. Salah satunya Azyumardi Azra. Kemunculan perda seperti itu dipantik oleh ketidakmampuan negara dalam menegakkan hukum secara serius. Ketidakmampuan ini memunculkan inisiatif dari beberapa kelompok dan elit politik untuk melakukan pencegahan pornografi, narkoba, dan kejahatan-kejahatan yang marak terjadi di masyarakat. Menurutnya penyebutan perda syariah merupakan sesuatu yang salah kaprah.
Mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini memetakan perda dengan karakteristik di atas menjadi empat kategori. Pertama perda yang sesungguhnya tidak ada hubungan dengan syariah sebab tidak ada rujukannya pada ketentuan syariah dan fikih. Meskipun secara substantif terdapat kesamaan isi perda dengan substansi syariah dan fikih. Perda ini seperti peraturan yang bertujuan mengurangi dan menghadapi pelacuran, memerangi narkoba, kriminalitas, dan sebagainya. Banyak perda dengan karakteristik seperti ini, sehingga tidak bisa serta metra menyebutnya sebagai perda syariat Islam.
Kedua, perda yang bertujuan meningkatkan kesalehan dan moralitas. Seperti tentang cara berpakaian (pemakaian jilbab) dan adab di ruang publik. Perda seperti ini lebih cocok disebut perda yang bertujuan meningkatkan moral dan akhlak daripada perda syariah.
Ketiga, perda yang bernuansa syariah seperti mewajibkan anak sekolah mengenakan pakaian muslimah ketika bersekolah. Salah satunya yang diberlakukan walikota Padang.
Keempat, perda yang murni syariah. Tapi perda semacam ini hanya di daerah berotonomi khusus seperti Aceh. Memandang regulasi seperti ini tidak bisa serta merta sebagai perda saja, tapi lebih sebagai hasil keputusan politik nasional karena adanya otonomi khusus tersebut.
Hal-hal yang berbau dengan nilai-nilai agama yang tidak cocok dengan konteks nasional, tidak bida dilegal-formalkan seperti hukum hudud. Meski begitu sebenarnya sudah ada beberapa syariah yang diadopsi ke dalam UU nasional. Seperti UU perkawinan, UU Perbankan Islam.
Syariah bisa diartikan ketentuan agama kalau dilihat secara luas, tetapi juga dapat diartikan sebagai wahyu ilahi jika dilihat secara sempit, khususnya perihal hukum. Ayat Qur’an yang berkenaan dengan hukum merupakan syariah, sementara yang berupa rincian merupakan fikih. Jadi kalaupun ingin mengadopsi beberapa ajaran agama menjadi regulasi itu lebih berkaitan dengan munakahat, mu’amalah, ekonomi Islam seperti contoh di atas. Untuk yang berkaitan dengan peribadatan, negara tidak bisa ikut campur karena itu urusan ulama.
Mengenai syariah, Abdurrahman Wahid mempunyai perspektif tersendiri. Ia percaya syariah untuk diterapkan, tapi oleh masyarakat, bukan negara. Kalau dipaksakan ada kecenderungan negara tidak menghargai heterogenitas warga.
NU sendiri menilai tidak wajib adanya negara Islam dalam melaksanakan syariah. Prinsipnya yang penting syariah bisa berjalan. Itu tugas ulama melaksanakan, dan tanpa kekerasan. Mengenai adanya perda yang dinilai syariah, itu sah-sah saja selama tidak bertentangan UUD ’45. Jika sudah bertentangan, maka mesti dibatalkan.
Kalau kita melihat konteks negara modern sekarang, seperti negara demokrasi macam Indonesia, Ahmad Syafii Maarif mengatakan yang paling penting adalah bagaimana moral itu dijalankan di negara demokrasi. Semua agama di negara ini dapat menyumbangkan semangat moralnya.
Di Aceh sendiri sebagai salah satu daerah yang menerapkan hukum islam sehari-hari ternyata implementasinya tidak semudah dibayangkan. Seperti beberapa qanun (perda) yang belum mempunyai aturan spesifik di bawahnya dalam hal pelaksanakan. Sehingga qanun tersebut hanya berupa hukum materil dan belum dapat dijalankan maksimal tanpa hukum formil (hukum acara). Selain itu beberapa daerah juga belum mempunyai alokasi dana untuk melakukan pelaksanakan syariat islam. Sehingga pelaksanaannya pun urung dilakukan. Komnas Perempuan juga mencatat beberapa peraturan secara tidak langsung diskriminatif terhadap perempuan. Seperti beberapa qanun seperti hukuman cambuk akan lebih efektif jika dengan memberi rasa malu bagi si pelanggar. Dan Komnas Perempuan tidak sependapat dengan itu. Menurutnya, hukum yang dibuat untuk mempermalukan orang sering salah kaprah, terutama jika yang terkena hukuman itu anak-anak.
Pada akhirnya penulis sepaham dengan apa yang dikatakan Syafii Maarif, yang lebih penting dalam merumuskan pemerintahan yang adil adalah lebih ke substansinya. Artinya, qur’an menjadi sebuah pedoman moral, bukan landasan formal untuk mendirikan negara Islam.
Sumber: https://medium.com/@arynas92/apa-itu-perda-syariah-46ca090227b9