Beberapa hari aku melihat suami selalu cemberut. Tiap kali ditanya kenapa, dia buru-buru tutup hidung. Seakan mencium sesuatu yang bau.
Seperti siang itu, saat pulang kerja. Kulihat ajahnya masam. Aku menyambutnya dengan senyum termanis agar membuatnya tersenyum. Dia tersenyum. Tapi hanya sesaat, kemudian wajahnya masam lagi.
Kupersilakan dia membersihkan diri dulu. Sementara aku menyiapkan makanan. Sambil menunggu di ruang makan, aku terus diliputi tanda tanya. “Dia kenapa, sih?”
Suamiku menghampiri meja makan. Wajahnya terlihat segar sehabis mandi. Tanpa bicara, aku langsung menyendokkan nasi ke piringnya. “Jangan terlalu banyak. Aku tidak mau muntah lagi,” ucapnya, membuat tanganku tertahan saat mengambilkan nasi untuknya. Muntah?
Sore harinya, saat duduk berdua di teras, kuberanikan diri bertanya, mengapa beberapa hari ini sikapnya aneh. “Bau ketek,” jawabnya, datar.
Seketika aku kaget. Siapa yang bau ketek? Aku? Spontan aku mencium ketiakku sendiri. Ah… tidak bau. Aku menatap lagi wajah suamiku. Wajahnya terlihat tenang, tak bisa diduga apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Sejak sore itu, aku benar-benar kalang-kabut. Bau ketek… ucapan itu terus terngiang dalam benak.
Oh… no! Aku bau ketek kata suamikuuu…..
Aku pun segera browsing mencari cara menghilangkan bau ketiak. Supaya suami tidak terganggu dengan bau ketiakku, meskipun dengan percaya diri aku katakan bahwa ketiakku sama sekali tidak bau. Tapi, demi suami, aku akan melakukan segala macam cara.
Di internet kutemukan banyak resep dan cara menghilangkan bau ketiak. Salah satunya dengan daun sirih. Wah, di mana aku mendapatkan daun sirih di Kota Karawang yang masih baru kutinggali ini?
Aha… aku ingat. Saat suami mengajakku jalan-jalan dan memperkenalkan aku dengan keluarganya di Purwakarta, kulihat ada tanaman sirih di pekarangan rumah Uwa. Saat suami libur, aku pun mengajaknya berkunjung ke rumah Uwa. Suami setuju dan kami berdua pergi mengunjungi Uwa di Purwakarta.
Di rumah Uwa, setelah basa-basi, aku izin meminta daun sirih. Kupetik beberapa lembar daun dan membungkusnya dengan plastik. Melihat aku membawa daun sirih, suami bertanya, buat apa daun sirih tersebut. Aku hanya tersenyum dan mengerlingkan mata. Rahasia….
Sampai di rumah, segera kuracik daun sirih sesuai instruksi dari resep di internet. Kucuci bersih daun sirih lalu direbus dengan segelas air. Sebenarnya dulu sewaktu di Madura, aku sering bikin sendiri racikan jamu dari daun sirih serta berbagai jamu lainnya. Hanya, setelah menikah dan ikut suami, aku kesulitan meracik jamu. Terlebih aku masih belum paham daerah baru tempat kutinggal ini.
Satu gelas air rebusan daun sirih telah siap. Aku menunggu dingin sebelum meminumnya. Saat itulah suamiku masuk dapur dan mengambil segelas air di atas meja. Tapi, dia mengurungkan niat untuk meminumnya.
“Bunda, ini air apa, sih?” tanyanya, menatapku yang berdiri tak jauh darinya.
Malu-malu, aku jelaskan bahwa itu ramuan daun sirih penghilang bau ketiak. Seketika mata suamiku melotot.
Dia meletakkan gelas dan menghampiriku. Tanpa kata dia memelukku dan berbisik. “Maafkan Ayah, Bunda. Yang bau ketek bukan Bunda, tapi teman kerja Ayah.” Hah? Aku melepaskan pelukannya.
Aku menatapnya dan minta penjelasannya.
“Tapi tenang. Sekarang dia sadar setelah diingatkan beberapa teman. Beberapa hari kemarin kami semua tidak bisa makan siang di kantin, karena terganggu bau ketiaknya.”
“Tapi, di rumah Ayah muntah-muntah itu kenapa?”
“Ha…ha…ha… pikiran Ayah sepertinya kebawa dengan bau ketek itu, biarpun sudah sampai di rumah.”
Oalaaa… aku mencubit gemas suamiku.