Dalam momen-momen tertentu, Jumatan memang kerap dijadikan ajang politik, seperti soal adanya khotbah yang menggelorakan semangat massa dalam mengekspresikan sikap politiknya terhadap kekuasaan yang menyimpang dan otoriter. Dulu, di Iran, pelaksanaan salat Jumat mirip dengan salat Idul Fitri, digelar di tengah lapangan terbuka di lingkungan kampus Universitas Teheran.
Muncul teriakan-teriakan sarkastik, seperti “marg bar Amrika” atau “marg bar Isroil” yang kurang lebih menyuarakan kekesalan pada negara Amerika dan Israel. Namun, salat Jumat di Iran ini tak perlu dipasangi pamflet pemberitahuan yang dipasang di jalan-jalan, agar umat muslim sekitar mengikuti salat, karena di Iran salat Jumat tidaklah wajib sebab yang wajib hanyalah salat dzuhur.
Banyak momen salat Jumat yang menjadi sesak karena semangat politik di dalamnya, entah itu karena keinginan bersama dalam berdoa agar terpenuhi rasa keadilan dari para penguasa despotis, seperti yang pernah terjadi di Mesir ketika pergerakan Ikhwanul Muslimin salah satu kelompok oposisi dibawah kendali Sayyid Quthb juga pernah berada dalam kondisi yang sama, menggunakan salat Jumat bagi momen kepentingan politik.
Mungkin masih banyak lagi fenomena yang menggambarkan bahwa Jumatan kerap dimanfaatkan bagi kepentingan politik, baik dalam rangka mengkritik, mendesak pergantian kekuasaan, hingga pada tahap paling ekstrem, yaitu menggerakan makar.
Melihat sisi politik dari salat Jumat ini memang selalu menarik, bukan saja karena realitasnya yang kontroversial karena ada yang membolehkan dan melarang, namun di sisi lain lebih didorong oleh kenyataan sulitnya mempersepsikan secara seragam apa yang dimaksud “politik” dan bagaimana Jumatan dianggap ibadah yang “dipolitisasi” pada akhirnya.
Politik dalam pandangan paling netral, tak melulu terkait dengan kekuasaan formal, karena mungkin saja politik dimanfaatkan untuk penyebaran semangat atau ide-ide tertentu yang menggelorakan semangat masyarakat untuk lebih banyak mendahulukan ilmu pengetahuan daripada soal perebutan kekuasaan.
Hal ini pernah dilakukan Nabi Muhammad, ketika pertama kalinya beliau menginjakkan kaki di Madinah sewaktu hijrah. Kedatangan Nabi ke Madinah bahkan sudah tersebar sekalipun tanpa pamflet atau spanduk yang dipasang di pinggir-pinggir jalan. Masyarakat Madinah yang egaliter, justru sangat penasaran dengan sosok Nabi yang tersiar melalui kabar verbal sebagai seorang pemimpin lintas suku yang sukses membentuk “suku super” yang semakin banyak pengikutnya.
Tiba di hari Jumat di Madinah, Nabi berkhotbah, dalam salah satu baitnya beliau mengatakan, “Wahai umat manusia, dahulukanlah ilmu pengetahuan dari hartamu, sebab kelak kalian akan dikumpulkan seperti segerombolan ternak yang tanpa penggembalanya. Kalian akan ditanya nanti oleh Tuhanmu satu persatu. Maka berbuat baiklah, sekalipun kalian hanya memberikan sepotong kurma dan jika kalian tidak mampu, cukuplah dengan berkata baik, sebab kebaikan itu akan dibalas dengan kebaikan berlipat-lipat, bahkan hingga sampai 700 kali lipatnya”.
Dalam konteks Jumatan Nabi di Madinah ini, jelas berkonotasi politik dimana setiap orang disadarkan akan keberadaan dirinya untuk lebih dekat kepada ilmu, mendahulukan pengetahuan dan kebaikan, dan ikuti mereka yang memiliki pengetahuan agar tak tersesat seperti domba-domba yang tanpa penggembalanya.
Nabi menggelorakan semangat pengetahuan yang di kala itu, mungkin hampir tak ditemukan seseorang berkhotbah dengan cara demikian. Mengajak kepada kebaikan dalam banyak hal, termasuk bagian dari “politisasi” yang memaksa alam bawah sadar manusia untuk berpolitik, meningkatkan perbuatan baik dan mendahulukan kegiatan keilmuan yang dapat lebih membuka wawasan.
Dengan demikian, politik semestinya dikonotasikan secara baik dan seragam, sebagai bagian dari upaya penyadaran masyarakat akan hak-hak mereka, kepentingan-kepentingannya, termasuk kesempatan mereka yang luas untuk berbuat baik dan beramal melalui ilmu pengetahuan.
Sedangkan, politik-kekuasaan tentu saja identik dengan keuntungan materi yang bersifat keduniaan, sebab yang diperoleh setiap orang hanyalah jabatan, kemewahan, kehormatan, dan tentu saja pendapatan materi yang dramatis bahkan fantastis. Lalu, jika ada momen salat Jumat yang “dipolitisasi” seperti zaman Nabi, masihkah itu menjadi kontroversi?
Dalam konteks kekinian, terlebih di tengah sublimasi tahun politik, sensitivitas masyarakat soal politik tentu saja menguat. Bahkan, hal ini bukan tidak mungkin didorong oleh kecenderungan yang teramat rumit terhadap ragam pilihan politik yang dikotomis. Ada hal-hal yang teramat sulit untuk dilakukan, karena dalam konteks apapun selalu saja dihubungkan dengan sikap kecondongan terhadap pilihan politik tertentu.
Pemberitaan yang ramai menyoal capres Prabowo Subianto yang akan salat Jumat di Masjid Kauman, tentu saja menyedot perhatian publik karena sudah tentu akan ada muatan-muatan politik didalamnya, namun apakah itu terbukti? Kita memang terlampau sensitif, bahkan saking sensitifnya dugaan-dugaan dan asumsi-asumsi sudah lebih dulu menjadi pembenaran secara liar, seolah kita ini terjerat dalam situasi “post-truth” yang menggelikan.
Jumatan politik seolah menjadi diksi yang menakutkan bagi sebagian pihak, dimana seolah-olah nilai kesakralan salat akan tergusur oleh kedatangan seseorang yang notabene pemimpin politik. Padahal, sudah sejak dulu para politisi juga salat Jumat di daerah konstituennya lalu dengan secara sadar memberikan pengaruh politik atau paling tidak menunjukkan dalam suasana politik yang tidak lagi sakral dalam suasana Jumat dengan menunjukkan dirinya adalah muslim yang baik.
Jumatan dijadikan ajang peningkatan citra diri yang ekslusif bahkan mungkin saja sebelumnya telah ada spanduk atau pamflet yang mengumumkan bahwa masjid ini akan dihadiri oleh seorang caleg yang akan memperjuangkan nasib rakyat di daerahnya.
Bagi saya, politisasi itu tak selalu dinilai buruk, terlebih ketika melihat pada realitas sejarah ketika Nabi Muhammad berkhotbah pada salat Jumat pertama kalinya di Madinah. Banyak diksi kepolitikan yang dikutip dalam serangkaian hadis yang tersebar soal pidato Nabi ini, namun tak ada yang menyangkal bahwa itu merupakan bagian dari “politisasi” Nabi untuk membentuk dan menciptakan umat yang lebih mementingkan akhirat daripada dunia.
Sekalipun saya termasuk yang tidak menyetujui jika Jumatan menjadi ajang ujaran kebencian dan pemanfaatan untuk mobilisasi kritik terhadap kekuasaan, namun soal Jumatan salah satu capres yang sedianya akan dilakukan di Yogyakarta, jangan terlampau dilebih-lebihkan, apalagi dinilai sebagai kampanye politik.
Hari Jumat merupakan hari suci bagi umat Islam, karena selain hari terakhir dalam kurun satu minggu di mana seluruh catatan amal setiap orang disetorkan para malaikat kepada Tuhan, Jumat merupakan hari yang diyakini umat Islam sebagai hari paling sakral, karena prediksi soal kiamat yang jatuh di hari Jumat tak terbantahkan.
Bagi mereka yang meyakini soal kesakralan hari Jumat, maka sudah semestinya dijadikan momen terbaik untuk saling mengingatkan satu sama lainnya soal ketakwaan, sebab satu-satunya entitas yang terkumpul di dalamnya seluruh kebaikan hanyalah takwa. Tak ada perbedaan di antara seluruh manusia, baik jabatan, kedudukan, kekayaan, status sosial, capres, politisi, atau apapun, kecuali hanya takwa yang memiliki nilai tertinggi di hadapan Tuhan.*
Penulis: Syahirul Alim