Di media sosial sejak kemarin diam-diam para pendukung paslon 01 sedang melakukan operasi “perang simbol.” Foto Presiden Jokowi bersama Sri Sultan Hamengku Buwono X tiba-tiba bermunculan di medsos. Foto itu disertai caption: Jokowi Presidenku, Sri Sultan HB X Gubernurku.
Foto ini tampaknya dimaksudkan untuk menandingi munculnya pemberitaan adanya pertemuan antara Capres Prabowo Subianto dengan Sri Sultan HB X. Pertemuan berlangsung di kantor Gubernur DIY Bangsal Kepatihan Senin Siang (7/4).
Beberapa media mengangkat judul “Pesan Sri Sultan HB X Kepada Prabowo: Jaga NKRI, Pancasila, dan Keberagaman.” Berita itu dilengkapi dengan foto Sri Sultan dan istri bersama Prabowo, didampingi Ketua BPN Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso, Rachmawati Soekarno Putri, dan Titiek Soeharto.
Foto Jokowi dengan Sultan bukanlah foto baru. Dari penelusuran digital diketahui, Jokowi saat itu tengah berada di Yogyakarta untuk membagikan sertifikat tanah (28/9/2018). Dia diundang sarapan pagi bersama Sultan di keraton. Jadi foto lama yang didaur ulang.
Jokowi kembali bertandang ke Keraton Yogyakarta Sabtu malam (23/3) ditemani Ketua Umum DPP PDIP Megawati dan Sekjen Hasto Kristiyanto. Sebelumnya dia bertemu para pendukungnya di Stadion Kridosono. Di stadion ini Jokowi menyatakan tekadnya melawan. Dia mengaku selama ini hanya diam difitnah selama 4.5 tahun.
Media memberitakan tidak ada penjelasan apapun seusai pertemuan. Tidak ada foto yang dibagikan. Wajah Jokowi, Megawati, dan Hasto terkesan tidak happy. Spekulasi berkembang, mereka ditolak Sultan. Seakan menepis spekulasi, Hasto keesokan harinya menjawab secara normatif bahwa pertemuan berlangsung positif dan kondusif.
Bagi masyarakat Jawa khususnya tlatah Kasultanan Ngayogyakarta yang terbiasa bicara dengan bahasa isyarat, perlambang, simbol, foto dan pesan Ngarso Dalem itu merupakan sebuah isyarat kemana bandul politik Sultan sedang berayun. Karena itu perlu operasi untuk mementahkannya.
Dibandingkan dengan Jokowi, penerimaan atas kunjungan Prabowo sangat berbeda. Sama-sama berlangsung tertutup, setelah pertemuan ekspresi keduanya sangat berbeda.
Jokowi biasanya ramah melayani wartawan meninggalkan lokasi tanpa keterangan apapun. Sebaliknya Prabowo wajahnya terlihat cerah. Dia juga melayani pertanyaan wartawan. “Saya tadi sowan sekaligus kulonuwun karena mau berkampanye di Yogya. Kebetulan juga lama tidak bertemu beliau. Alhamdulillah diterima dengan baik,” ujar Prabowo.
Sebelumnya ketika bertemu Cawapres Sandiaga Uno (12/10/2018) wajah Sultan juga terlihat cerah. Foto Sultan yang menyilangkan jari telunjuk dan jempolnya di dagu banyak diartikan sebagai bentuk lain dari salam dua jari.
Bisa membaca apa yang terjadi
Bagi orang Jawa bahasa tubuh seorang raja seperti Sri Sultan bisa menjadi petunjuk apa sebenarnya yang ada dalam benaknya dan apa yang akan menjadi titahnya. Mereka tinggal sendiko dawuh. Siap menjalankan perintahnya.
Orang Jawa amat jarang mengungkapkan penolakan secara terbuka, sebagai upaya untuk membangun hubungan baik dan adab sopan santun. Namun tamu, atau lawan bicara sudah harus tanggap ing sasmito. Tahu pesan apa yang disampaikan.
Kalau toh disampaikan secara verbal, biasanya tidak disampaikan dalam kalimat langsung. Misalnya “tetapi akan lebih baik jika….” atau “mungkin ada opsi lain…” Kalimat tersebut seringkali disampaikan dengan gesture atau sikap isyarat tertentu, sehalus mungkin sehingga tidak menyakitkan.
Dalam komunikasi sering disebut sebagai high context. Tidak menggunakan kalimat langsung.
Komunikasi semacam inilah yang tampaknya berlangsung ketika Sultan menerima Jokowi, Mega dan Hasto. Sebagai orang Jawa ketiganya paham isyarat itu. Karena itu mereka tidak happy.
Sebaliknya ketika bertemu Prabowo dan rombongan Sri Sultan menggunakan komunikasi low context. Langsung pada persoalan.
Sultan mengatakan Prabowo harus menjaga NKRI, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika. Sultan juga menyampaikan jika kelak Prabowo terpilih sebagai presiden agar membentuk pemerintahan yang efektif dan bisa mengembalikan kejayaan Indonesia.
Selain seorang raja yang titahnya harus ditaati, figur seperti Sultan dianggap mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki manusia biasa. Jalmo limpat seprapat tamat. Seorang yg punya kelebihan bisa membaca apa yg akan terjadi.
Ucapan Prabowo agar membentuk pemerintahan yang efektif dan mengembalikan kejayaan Indonesia harus diartikan bahwa Sultan sudah mendapat firasat, wangsit, siapa yang akan menjadi pemenang.
Di luar isyarat-isyarat politik itu, sebenarnya sudah sejak lama publik bisa membaca ada ketidaknyamanan Sultan atas pemerintahan Jokowi. Dia misalnya dengan bahasa yang halus menyatakan ketidak-setujuannya atas program “tol laut dan jalur sutra” Jokowi.
Dalam pandangannya dibangunnya beberapa pelabuhan dan bandar udara, tidak disertai membangun potensi lokal dan menyiapkan masyarakatnya. Berbagai fasilitas itu memudahkan produk dan orang asing masuk ke Indonesia. Bukan sebaliknya.
Sultan juga pernah menyatakan ketidaksetujuannya atas pengerjaan yang terburu-buru Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo. Jokowi menargetkan bandara itu harus selesai sebelum April, saat pilpres berlangsung.
Ketika meninjau proyek itu Sultan pernah berpesan kepada pekerja agar tidak usah terburu-buru mengerjakannya. Jangan sampai seperti legenda Bandung Bondowoso yang harus membangun seribu candi hanya dalam waktu semalam. Sultan ingin kualitas bangunan bandara harus baik, tidak dibuat dengan mengabaikan kualitasnya demi mengejar waktu.
Soal pembangunan ruas jalan tol yang sangat dibanggakan Jokowi, Sultan juga punya pandangan berbeda. Dia menolak jalan tol dibangun di Yogya.
Sultan berpandangan pemerintah harusnya lebih mengutamakan membangun infrastruktur jalan reguler. Semua orang bisa mengakses, tanpa harus membayar. Jalan tol juga menjadikan daerah yang dilewati terisolir dan tidak maju pertumbuhan ekonominya. Sultan juga khawatir jalan pembangunan jalan tol akan merusak situs-situs budaya dan sejarah di Yogyakarta.
Berbagai perbedaan cara pandang dalam mengelola pembangunan itulah yang tampaknya membuat Sultan secara tersirat mulai menunjukkan kemana bandul politiknya diarahkan.
Bagi Jokowi sikap Sultan ini tentu saja tidak menggembirakan. Jogya adalah salah satu kantong suaranya. Pada Pilpres 2014 Jokowi unggul di Yogyakarta dengan meraih 55,81 persen suara, sementara Prabowo hanya meraih 44,19 persen.
Sikap politik Sultan dipastikan akan mengubah konstelasi politik di tlatah Mataram. Akan terjadi migrasi politik besar mengikuti langkah Ngarso Dalem.
Satu persatu wilayah yang sebelumnya dikuasai Jokowi, jatuh ke tangan Prabowo. End
Penulis: Hersubeno Arief