Gorontalo, mimoza.tv – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan 11 Kementerian/Lembaga dan lebih dari 30 Organisasi/Lembaga masyarakat yang bergerak di bidang pendampingan anak dan perempuan menggelar deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak, Kamis (15/8/2019).
Kegiatan ini diinisiasi oleh Deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak diluncurkan pertama kali oleh Menteri PPPA, Yohana Yembise, pada 3 November 2017 di Jakarta sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 72 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Dilansir dari Kemen PPPA, angka perkawinan anak di Indonesia menempati urutan ke-7 tertinggi di dunia dan menempati urutan ke-2 tertinggi di ASEAN. Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan Badan Dunia untuk Anak (UNICEF) merilis laporan analisis data perkawinan usia anak pertama kalinya di Indonesia. Pada laporan tersebut, angka perkawinan usia anak atau perkawinan di bawah usia 18 tahun di Indonesia tergolong tinggi, yaitu sekitar 23 persen.
Dilansir dari berbagai sumber, ada lima provinsi di Indonesia tertinggi angka penikahan anak, dengan rasio diatas 30 persen, Sulawesi Selatan dengan rasio 34 persen, Kalimantan Selatan dengan rasio 33,68 persen, Kalimantan Barat dengan rasio 32,21 persen, dan Sulawesi tengah sebesar 31,91 persen.
Provinsi Gorontalo sendiri meski tidak masuk dalam 5 besar, namun hal ini patut jadi perhatian. Mengingat, kasus married by accident (MBA) atau kehamilan di luar nikah, mendominasi pernikahan anak di Kota Gorontalo. Tahun 2018 lalu, data di Pengadilan Agama Gorontalo mencatat ada 97 perkara. Pengadilan Agama juga mencatat, sejak Januari hingga bulan Juni 2019, angka tersebut telah mencapai 33 perkara.
Taufik Ngadi, Panitera Pengadilan Agama Gorontalo Kelas 1A menjelaskan, di tahun 2018 itu jumlah perkara itu merupakan gabungan dari perkara di Kota Gorontalo dan Kabupaten Bonebolango.
“Dispensasi nikah disebabkan karena anak dibawah umur telah hamil sebelum menikah. Padahal dari segi usia, mereka belum diperbolehkan untuk menikah sesuai perundang-undangan yang berlaku. Tapi karena sudah hamil duluan, ya terpaksa kami berikan dispensasi nikahnya,” tandas Taufik.
Hal lain juga diungkapkan Syamsia Umar dan Sri Wahyuni. Dua warga yang berdomisili di Kecamatan Dungingi ini berpendapat, gerakan “STOP PERNIKAHAN ANAK”, tidak hanya formalitas saja. Yang terpenting kata mereka berdua, bagaimana hal ini benar-benar tersosialisasi ke masyarakat.(luk)