Oleh: Dr. Aryanto Husain
Hari ini, Pemerintah dan masyarakat Gorontalo akan menyambut kedatangan dua orang penting. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa dan Menteri Pemuda dan Olahraga, Zainuddin Amali. Kunjungan dalam rangka menghadiri syukuran ini, sekaligus menjadi kunjungan perdana ke daerah leluhur. Khusus bagi Menteri Bappenas, kunjungan ini bisa menjadi awal merekam kinerja pembangunan di daerah yang nantinya akan menjadi input bagi siklus perencanaan pembangunan kedepan.
Tantangan utama pembangunan adalah bagaimana mensejahterakan rakyatnya. Dan bagi banyak negara, terutama yang berkembang pilihannya adalah pertumbuhan. Perekonomian sebagai penentu kesejahteraan penduduk harus bertumbuh positif pada level yang ditargetkan. Maka target meningkatkan pertumbuhan menjadi acuan formulasi kebijakan.
Indonesia juga tidak luput dari orientasi pertumbuhan. Sejak Orde Baru hingga sekarang. Dalam lima tahun pertama, pemerintahan Presiden Jokowi-JK menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada level 5 persen. Harian Republika menulis pertumbuhan 5 persen adalah capaian terbaik di tengah ketidakpastian perekonomian global. Pada 2018 Indonesia mencapai pertumbuhan 5,17 persen dan masuk dalam tiga terbesar setelah India dan Cina. Dan ini membanggakan. Point kelima, pidato Presiden Jokowi dalam masa sidang Pelantikan Presiden yakni mendorong transformasi dari ketergantungan pada sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, Indonesia didorong bisa bertumbuh secara lebih baik lagi kedepan.
Pertanyaannya, bagaimana pendekatan pertumbuhan bisa didorong dalam batasan pembangunan berkelanjutan? Ini menjadi tantangan bagi Bappenas minimal dalam lima tahun kedepan.
Sejatinya, pertumbuhan identik dengan peningkatan pembiayaan pembangunan. Terkadang untuk mempertahankan pertumbuhan, negara terjebak dalam hutang. Karena hutang, negara bisa saling menyandera terutama saat terjadinya krisis global. Buruknya lagi, saat mengalami gagal bayar negara bahkan bisa mengalami krisis ekonomi dan kebangkrutan. Lihat bagaimana Yunani, Argentina, PuertoRico, dan Jamaica mengalami hal ini.
Strategi pertumbuhan juga vis to vis dengan keberlanjutan lingkungan. Dengan strategi relative decoupling, negara memang bisa mengejar pertumbuhan sambil mengurangi dampak terhadap lingkungan. Tapi itu tidak selamanya terjadi. Pertumbuhan ruas jalan misalnya, akan diikuti oleh pembukaan lahan hutan dalam skala besar. Ini adalah alert bagi masa depan kawasan hutan. Alice Hughes seorang peneliti yang menganalisa jaringan jalan raya di Indonesia, Malaysia, Brunei, Papua Nugini dan Kepulauan Salomon mengatakan banyak yang menganggap hutan masih alami dan luas serta tidak bisa diakses. Faktanya hutan sudah terkotak-kotak dan mudah diakses. Ekonom Tim Jakcson, memandang strategi more with less ini hanya menghitung energy pada per unit input ekonomi bukan keseluruhan. Jika ingin mempertahankan kondisi lingkungan maka efisiensi sumberaya harus ditingkatkan minimal secepat output ekonomi. Jika tidak justeru kondisi sebaliknya bisa terjadi. Bagi Indonesia, tantangan pertumbuhan sambil mengurangi dampak lingkungan antara lain melalui peningkatan kinerja Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Nasional yang tahun ini dipatok antara 66,5-68,5.
Secara umum, tantangan pembangunan abad 21 semakin kompleks dengan menurunnya kondisi biosfer bumi kita. Mulai dari menipisnya lapisan ozon, asidifikasi lautan, pelepasan nitrogen dan fospor, polusi akibat bahan kimia, berkurangnya debit air tawar, polusi udara, perubahan iklim hingga hilangnya keanekaragaman hayati. Dalam teorinya tentang Donat Ekonomi, Kate Raworth mengibaratkan kesembilan isu ini sebagai lingkaran terluar donat yang menjadi pelindung semua proses dalam bisofer bumi. Dan kita sudah melampaui 4 kali dari yang seharusnya dalam hal menipisnya alih fungsi lahan, pelepasan nitrogen dan fospor, perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati. Dan semua itu terjadi karena orientasi mengejar pertumbuhan untuk mencapai kesejahteraan.
What a paradox!
Apa yang bisa kita lakukan? Mulai dengan mengubah paradigma pertumbuhan. Krisis ekonomi 2008 yang memporakporandakan ekonomi di banyak negara cukup memberi bukti mengejar pertumbuhan tanpa batas adalah kesia-sian. Pertumbuhan harus berlangsung dalam batas kemampuan bumi mendukungnya dan didorong berjalan dalam ilustrasi lingkaran kue donat. Metafora lingkaran bagian dalam donat adalah pondasi sosial mencakup kebutuhan dasar manusia seperti air bersih dan makanan. Lingkaran luar adalah atap ekologis, metafore untuk bisa bertahan. Antara lingkaran dalam dan luar adalah potongan donat dengan keseimbangan dinamisnya. Bagian ini mengambarkan bahwa kebutuhan manusia dapat dipenuhi tanpa merusak bumi. Jika pertumbuhan melewati metaphor lingkaran luar donat maka kerusakan bumi adalah dampaknya. Artinya pertumbuhan penting untuk memenuhi kebutuhan dasar namun tidak boleh excessive melewati daya dukung bumi. Dengan kata lain, kita membutuhkan pertumbuhan berkelanjutan yaitu pertumbuhan yang berlangsung dalam bingkai pembangunan berkelanjutan.
Apakah selama ini hal itu tidak ada? Tidak. Pada 1972, laporan Limit to Growth dipublikasikan sebagai tanda bangkitnya kesadaran unsustain industry dan economy. Sejatinya kita memang paham tentang itu. Keserakahan mengalahkannya. Seperti kata Mahatma Gandhi, bumi ini cukup untuk tujuh generasi, namun tidak akan pernah cukup untuk tujuh orang serakah. Pertemuan pemimpin dunia pada Paris Climate Change Conference, Desember 2015 kembali meneguhkan komitmen negara terhadap keberlangsungan bumi, setidaknya melalui penandatanganan the Paris Agreement tentang perubahan iklim. Namun, bumi membutuhkan lebih. Demi kelangsungannya, bumi meminta kita merubah cara pandang tentang pertumbuhan dan kesejahteraan.
Sejatinya kesejahteraan tidak selalu terkait dengan materi. Lebih dari itu, kesejahteraan menyangkut kesehatan fisik dan mental, pendidikan, demokrasi, kepercayaan, keamanan hingga kebahagiaan. Sayangnya hingga hari ini, tool mengukur kesejahteraan masih seputar ukuran ekonomi suatu negara melalui PDB. Bagi negara berkembang mungkin masih relevan. Tapi bagi negara maju, tingkat kesehatan dan kebahagiaan tidak berhubungan dengan meningkatnya PDB. Ini artinya PDR tidak bisa lagi digunakan sebagai alat ukur kesejahteraan karena tidak bisa menceritakan semua hal. PDB juga hanya mendorong pertumbuhan semakin tidak berbatas. Bahkan Simon Kuznets yang mengembangkan PDB sebagai indikator perekonomian menyadari dan mulai merasa skeptis sejak 1960an, tiga puluh setelah dia mengembangkan instrument ini. Kuznets menyadari PDB hanya meng-capture sebagian dari total kesejahteraan sebuah negara, terutama pasar dan mengabaikan lainnya termasuk nilai barang dan jasa diproduksi pada level rumah tangga, masyarakat hingga negara. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama negara maju dan berkembang. Jika tidak, ukuran PDB hanya akan menjadi rujukan pertumbuhan yang tidak berbatas.
Indonesia dapat belajar dari pengalaman banyak negara yang terlalu mengejar pertumbuhan untuk kesejahteraan. Selain tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan tentang kesejahteraan itu sendiri, pendekatan pertumbuhan ini menyisakan persoalan lain tentang lingkungan. Komitmen dunia tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs seharusnya tidak sekedar narasi keinginan tapi harus menjadi kebutuhan tentang kondisi bumi di masa datang. Kecaman aktivis lingkungan remaja asal Swedia, Greta Thunberg pada KTT Iklim PBB di New York setidaknya menggambarkan kebutuhan itu dalam generasi mendatang di masa yang datang.
Bagaimana Indonesia keluar dari paradigm pertumbuhan tak berbatas menuju pertumbuhan berkelanjutan? Ini menjadi tantangan berat Pak Menteri Bappenas dalam 5 tahun kedepan.
Selamat Datang Pak Menteri di Gorontalo!
*Peulis adalah Kepala Bidang Ekonomi di Kantor Bappeda Provinsi Gorontalo. Pernah mengenyam pendidikan S2 di Wollongong University, Australia, dan S3 di IPB University.