Penulis: Funco Tanipu.
Pesta demokrasi terkecil secara serentak akan digelar pada Rabu (13/11/2019). Ini merupakan pesta demokrasi yang memilih kandidat terbaik untuk menjadi wakil pemerintahan di pedesaan. Akan ada 213 pemilihan kepala desa di Gorontalo. Rinciannya, ada 76 pilkades di Kabupaten Gorontalo, 88 pilkades di Kabupaten Bone Bolango, 44 pilkades di Boalemo, dan 14 pilkades di Pohuwato. Pilkades adalah ajang untuk rekrutmen elit sekaligus miniatur kontestasi demokrasi.
Soal kepala desa, saya teringat almarhum kakek saya, ayah dari ibu, yang pernah memimpin sebuah desa di pinggir danau Limboto. Beberapa puluh tahun ia menjadi Ayahanda, istilah bagi kepala desa di Gorontalo.
Desa Luwoo adalah kampung yang pernah ia pimpin. Saking lamanya, ia dijuluki Bapu Luwoo, atau biasa juga dipanggil Ti Peri.
Sebelumnya, ia pernah menjadi Kepala Desa Bulila, sebuah kampung yang berbatasan dengan Kota Gorontalo.
Ayah kakek saya namanya Musa Kaluku. Dalam ejaan lama “Moesa Kaloekoe”. Kakek saya Musa Kaluku pernah menjadi Marsaoleh Telaga Afdeeling Gorontalo pada tahun 1891.
Pada tahun 1891 itu juga, kakek Musa Kaluku bersama Soeradja Olii yang juga Marsaoleh Kota Afdeeling Gorontalo, menerima penghargaan “Tongkat dan Gouden Knop” (Beslit Gubernemen).
Di tahun 1896, kakek Musa Kaluku menerima penghargaan Zilveren ster voor Trouw en Verdienste (Beslig Gubernemen untuk masa dinas yang lama dan berdedikasi).
Dulu, Telaga adalah kumpulan kampung-kampung di pinggiran danau Limboto, batasnya adalah Kota Gorontalo. Telaga adalah salah satu penyangga Limboto (Limutu) dan Kota.
Pada era itu, Kepala Desa bukanlah jabatan yang diperebutkan seperti sekarang, tetapi dianugerahkan. Kriterianya ketat, apalagi jika dikaitkan dengan prinsip adat Gorontalo ; Moodelo.
Kepala desa di kala itu tidak seperti saat ini, dulu tidak ada anggaran dana desa yang besarannya mencapai miliaran rupiah. Tidak ada juga yang disebut dengan dokumen perencanaan seperti RPJMDes, RKPDes, APBDes dan banyak macam dokumen lainnya. Dokumen pada masa itu masih sebatas pada ingatan dan memori.
Penentuan batas desa dan batas tanah biasa ditandai dengan pohon atau tanaman yang berusia panjang.
Begitu pula dengan anggaran. Tidak ada kucuran anggaran dari pusat. Saat itu anggaran masih swadaya antar warga. Ada upaya kolektif dalam menghimpun dana warga yang disebut mohimo’a.
Pun demikian dalam mengerjakan “proyek” infrastruktur. Ada kolektifitas lokal yang dinamakan himo’a dan huyula. Semua terlibat aktif, ada kerelaan dan kerelawanan. Belum ada yang dinamakan dengan insentif, honor, gaji, dan lumpsum.
Dalam model kepemimpinan, ada yang dinamakan dulohupa. Sebuah model diskusi, musyawarah dan dialog dalam bentuk bubulota, bukan bubutola. Belum ada yang disebut dengan Musrenbangdes.
Desa pada kala itu adalah miniatur kekerabatan, persaudaraan dan pertemanan. Makanya pemilihan kepala desa pada saat itu bahkan menjadi ajang tutulude (tolak menolak, tanda ketidaksiapan) dalam artian positif.
Kini, menjadi kepala desa adalah semacam prestise. Sebuah status sosial sekaligus status politik. Kepala desa adalah rebutan sekaligus perebutan. Disebut rebutan karena fasilitas dan kewenangannya sangat besar. Menjadi perebutan karena dengan menggaet kepala desa tertentu menjadi modal penting bagi elit politik apakah itu kepala daerah atau anggota legislatif untuk menambah daya elektoral dan legitimasinya.
Kepala desa yang menjadi caleg pun tidak sedikit. Bahkan kepala desa sering dijadikan batu loncatan untuk meraih jabatan yang lebih tinggi.
Pasca ditetapkannya desa sebagai salah satu unit otonom, dan ditambahkannya pendekatan anggaran untuk pembangunan. Maka sejak itulah, desa sebagai lokasi yang hangat dengan cuaca persaudaraan, menjadi ruang konflik dan pertikaian.
Jika kita lihat data faktual mengenai pengelolaan dana desa, hampir 200 an milyar dana desa yang ditelip di seluruh desa se Indonesia. Belum lagi dengan minimnya kualitas dokumen perencanaan desa, hingga pelaporan dana yang sering bermasalah.
Karena itu, momentum pilkades semestinya menjadi ajang untuk melakukan refleksi secara keseluruhan. Baik mengenai apa itu desa dalam konteks kekinian, bagaimana pengelolaan anggaran yang bisa memastikan efektifitas dan efisiensi serta transparansi. Hingga bagaimana memperbaiki model pemilihan kepala desa yang kini terindikasi mulai marak menggunakan politik uang.
Semoga, pilkades-pilkades ini akan menjadi bagian untuk merenungi kembali sejarah perjalanan kampung di Gorontalo. Bukan untuk kembali pada era itu, namun mengambil hikmah dari pengelolaan desa di masa itu.
Dengan demikian, mengingat desa adalah juga mengobati kerinduan kita pada desa, khususnya desa yang dulu tentram, ramah dan nyaman.
Hingga pada sebuah titik ; desa adalah tempat bulan madu para pecinta tanah air.