Oleh; Funco Tanipu
Dunia medsos ramai dengan “meme” yang isinya adalah pertanyaan ; “Mo Kamana?” Dan “Kiapa Bale”.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), meme bermakna cuplikan gambar dari acara televisi, film, dan sebagainya atau gambar-gambar buatan sendiri yang dimodifikasi dengan menambahkan kata-kata atau tulisan-tulisan untuk tujuan melucu dan menghibur.
Meme muncul di berbagai media sosial, muncul di hampir di setiap isu yang muncul di tengah masyarakat dan membuatnya menjadi satir yang menggelitik.
Selain menghibur, meme juga berfungsi sebagai kritik sosial pada keadaan yang timpang. Meme “mo kamana, kiapa bale” selain menghibur, juga sebagai bentuk kritik sosial atas keadaan.
Misalnya ada meme tentang nilai dari dosen, tentang pembayaran honor, dana perjalanan dinas habis, ada tentang pembangunan dan pekerjaan proyek hingga yang paling banyak soal “01 dan 02”. Selain menghibur, fungsi meme adalah juga mengkritik.
Tetapi, jika dilihat dari semua meme yang beredar, gambarnya hanya satu, yakni percakapan seorang ibu dan anak. Dari segi etika, gaya percakapan ibu dan anak mengandung unsur yang tidak etis. Sebab, pertanyaan seorang ibu dijawab seadanya dan asal-asalan oleh si anak. Walaupun tujuannya menghibur, tapi nilai etika pada meme tersebut tidak menggambarkan adab yang baik pada orang tua.
Di alam demokrasi, model kritik tidak pernah tunggal. Selain sebagai saluran partisipasi, meme juga berfungsi mengingatkan bagi institusi negara untuk lebih jeli dalam pelayanan publik. Namun, batas etika penting untuk dihadirkan dalam kritik sosial.
Meme yang dilancarkan netizen adalah bagian dari kritik alternatif terhadap media mainstream yang tidak mengangkat atau bahkan mendiamkan fakta dan kenyataan yang timpang di masyarakat. Kecepatan penyebaran meme sebenarnya adalah respon publik (netizen) yang gundah terhadap abainya media pada kondisi timpang yang ada.
Karena itu, meme tidak bisa dilihat dari salah satu sisi, namun mesti dilihat dari banyak perspektif.
Bahwa semakin banyak meme yang bertebaran (kritik sosial), sebenarnya adalah tanda redupnya pilar demokrasi yang konstitusial seperti partai politik, organisasi masyarakat sipil dan media dalam menyeimbangkan dan memperkuat demokrasi.(*)