Oleh: Funco Tanipu
Dalam seminggu kedepan, tepatnya tanggal 26 Maret 2020, kita akan memasuki 1 Sya’ban 1441 Hijriyah. Sebagaimana kebiasaan masyarakat Gorontalo pada umumnya, bulan Sya’ban dipercayai sebagai waktu yang tepat untuk melangsungkan pernikahan.
Dalam proses pernikahan, biasanya ada beberapa tahapan yang harus dilaksanakan secara umum antara lain musyawarah, tolobalango, dutu, molapi saronde, akaji, modepito. Keseluruhan dari proses tersebut, pemangku adat yang berada paling depan dalam memandu prosesi adat pernikahan tersebut.
Hingga saat ini, di tengah pamdemi yang sedang berlangsung, tentu menjadi penting untuk merumuskan langkah-langkah antisipatif terkait mitigasi dalam proses pernikahan, khususnya bagi pemangku adat, keluarga yang akan menikahkan anaknya, termasuk masyarakat umum.
Data Kantor Wilayah Kementrian Agama Provinsi Gorontalo pada tahun 2016 menunjukkan sebanyak 8.728 pasangan yang menikah di tahun tersebut. Angka ini melonjak lebih tinggi pada tahun 2018 menjadi 10.213 pernikahan di tahun itu.
Dari jumlah tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarkaat Gorontalo menjadikan bulan Sya’ban sebagai bulan yang tepat untuk melangsungkan pernikahan. Jika diasumsikan pernikahan yang terjadi di bulan Sya’ban sebanyak 30 % dari total pernikahan, maka ada sekitar lebih dari 3000 pernikahan yang akan terjadi di bulan Sya’ban.
Bagi masyarakat Gorontalo, pernikahan adalah soal prestise dan identitas serta mengikat tali silaturrahmi. Karena tiga hal itu, maka agak jarang pernikahan yang “hanya” dilaksanakan di Kantor Urusan Agama.
Rata-rata pernikahan di Gorontalo biasanya “enam kali pesta”, pesta pertama di rumah mempelai pria sebelum si pria diantar ke rumah mempelai perempuan untuk akad nikah (mopolahu), pesta kedua saat akad nikah yang biasanya dilaksanakan pada pagi hari, pesta ketiga saat resepsi yang biasanya dilangsungkan di gedung atau di rumah mempelai perempuan, dan yang keempat saat pasangan ini diantar ke rumah keluarga pria (modepito).
Prosesi diatas belum ditambah dengan “pesta” saat tolobalango (ritual lamaran) dan dutu (prosesi antar harta) serta mongadi Quruani dan molapi saronde (ritual mempelai perempuan membaca Al Qur’an dan menari saronde bagi mempelai pria di rumah mempelai perempuan).
Banyaknya jenis prosesi adat pernikahan ini tentunya memiliki konsekuensi dengan jumlah orang yang hadir pada setiap prosesi yang puncak berkumpulnya manusia ada pada resepsi pernikahan, apalagi jika dilangsungkan di gedung pertemuan. Biasanya undangan resepsi pernikahan dalam gedung sekitar 750 – 1,500 orang.
Pandemi yang sedang berlangsung saat ini harus menjadi perhatian serius bagi pasangan yang akan menikah, keluarga dan juga undangan/tamu. Bagi Gorontalo yang kini belum menetapkan aturan berupa larangan berkumpul, tentu hal ini bisa jadi salah satu perhatian. Sebab, anjuran untuk melakukan “social distancing” di prosesi adat Gorontalo tampaknya sulit karena pokok dari semua prosesi adat, khusunya pernikahan adalah untuk mendekatkan, memperkenalkan, memperpendek jarak, yang tujuannya untuk memperkuat silaturrahmi.
Tentunya pokok niat baik ini sepertinya agak berlawanan dengan anjuran untuk melaksanakan “social distancing”. Dalam konteks normal, pokok dan tujuan dari prosesi adat ini sangat luhur, namun di masa-masa abnormal seperti sekarang tampaknya perlu ada upaya cepat untuk merumuskan pola mitigasinya.
Pola mitigasi ini mesti segera dirumuskan oleh lembaga yang memiliki otoritas seperti Lembaga Adat dan Kantor Urusan Agama, hal ini tidak lain untuk memutus rantai kemungkinan terburuk dari efek berkumpulnya massa. Secara teknis, Pemerintah Daerah dalam hal ini sebagai “wuleya lo lipu” mesti membaca cepat kemungkinan-kemungkinan untuk mengatasi berbagai hal yang akan terjadi.
Semoga lembaga-lembaga yang memiliki otoritas bisa segera mengambil langkah-langkah antisipatif menghadapi “fenomena tahunan” yang tinggal seminggu lagi akan kita masuki.