Oleh: Funco Tanipu
Banyak orang yang beranggapan bahwa masa berlaku PSBB itu hanya 14 hari, dan setelah itu bisa bebas dari pandemi. Jangan salah, PSBB tidak menjamin virus hilang, PSBB hanya memperlambat laju dari penyebaran. Ini situasinya pandemi, artinya penyebarannya sudah melintasi benua dan hampir semua wilayah terdampak. Untuk me-nol-kan kasus agak sulit, tapi memperlambat penyebaran bisa sambil menunggu vaksin dan obat diproduksi massal.
Karena itu, kita sudah harus menyiapkan diri untuk beberapa kali perpanjangan PSBB. Pemerintah pun sudah harus menyiapkan skenario yang holistik namun tetap mengutamakan skala prioritas penanganan.
Kini ada beberapa negara yang telah memberlakukan lockdown, lalu setelah menganggap sukses lockdown yang dijalankan, mereja memutuskan lockdown berakhir. Seperti Hokkaido, saat ini sedang menghadapi gelombang kedua.
Hal yang sama terjadi pada Pandemi Flu Spanyol di tahun 1918-1919. Kala itu, pandemi Flu Spanyol sampai tiga kali gelombang. Gelombang pertama sekitar 10 juta yang mati, gelombang kedua mencapai empat kali lipat yang mati. Hingga turun dan naik lagi pada gelombang ketiga dengan angka kematian sebesar ½ dari gelombang kedua.
Saat itu, karantina juga ada. Penanganan belum secanggih sekarang. Mobilitas antar negara dan wilayah masih terbatas pada kapal laut dan kereta api.
Namun, karena vaksin dan obat belum ditemukan, lalu karantina atau pembatasan tidak maksimal, maka terjadilah gelombang-gelombang yang lebih mengerikan dari gelombang pertama.
Pengalaman pandemi Flu Spanyol bisa jadi rujukan baik untuk kita dalam memahami gelombang “serangan” yang berulang-ulang.
Hal ini akan lebih berat lagi dengan berbagai data faktual yang menyebutkan bahwa pasien yang terkonfirmasi positif lalu sembuh, akan bisa terinfeksi lagi.
Dalam bahasa Gorontalo, hal ini disebut “tuhuwalo” atau tiluhuwa”, artinya seseorang sudah sembuh lalu karena beraktifitas lagi, maka jatuh sakit kembali.
Gelombang-gelombang ini yang harus dibuatkan skenario jangka panjang untuk mengatasinya. Termasuk bagaimana setiap keluarga mulai mengarahkan kegiatan keluarga selama karantina dalam rumah bisa berdampak produktif, tidak hanya berdiam #dirumahaja. Setiap keluarga sudah harus memikirkan bagaimana bisa lebih mandiri dalam pengelolaan ekonomi internal.
Demikian pula Pemerintah sudah harus melakukan skenario refocussing lebih mendalam. Harus ada anggaran lebih banyak lagi yang harus dipangkas. Semua kegiatan yang menyebabkan orang berkumpul (termasuk ATM/ATK, Perjalanan Dinas Dalam Daerah, biaya makan minum dll) harus dipangkas habis. Tak terkecuali proyek-proyek infrastruktur yang bisa ditunda, dalam artian jika manfaatnya belum pada skala prioritas berarti masih bisa dipending.
Kemungkinan-kemungkinan perpanjangan PSBB harus bisa disimulasikan hingga 15- 20 kali perpanjangan. Artinya, 20 x 14 hari yakni 280 hari atau 9.3 bulan. 9.3 bulan itu berarti sampai pada bulan Februari 2021.
Pertanyannya, kenapa harus minimal 280 hari, sebab sebagaimana informasi yang beredar, obat dan vaksin baru tahun 2021 akan hadir secara massal. Namun, apakah anggaran pemerintah “ready” pada saat itu? Makanya perlu “menggali” lebih dalam lagi anggaran yang ada dengan simulasi refocussing selama berulang-ulang. Refocussing anggaran ini tidak bisa lagi memikirkan “pengadaan sembako” secara vertikal, harus mulai dipikirkan setiap kelompok atau unit terkecil melahirkan inovasi pengelolaan pangan, pemerintah tinggal melakukan subsidi saja. Tidak bisa pukul rata dengan pola “sembako” semua, ketahanan pangan di unit-unit masyarakat harus diberdayakan. Misalnya mulai mengaktifkan lumbung pangan warga, disitu bisa saling subsidi antara yang “lebih” dan “kurang”. Tidak semua harus menggunakan anggaran pemerintah karena pasti akan terbatas.
Angka 280 hari ini termasuk bagaimana mengelompokkan masyarakat berdasarkan hasil uji Swab yang dilakukan secara massal. Uji swab secara massal ini akan mengetahui mana yang akan diisolasi, mana yang bisa dirawat intensif, dan mana yang berkategori “bolo hepo ngadiya liyo”.
Angka 280 hari ini masih tentatif, harapannya pada awal tahun depan, Gorontalo sudah mendapatkan vaksin dan obat yang bisa dipakai secara massal.
Tentu, dengan melihat skenario kita semua hanya bisa menarik nafas panjang. Namun, ini adalah alternatif daripada memilih herd immunity (bebas namun fatality rate tinggi) atau supresi (tidak bebas, fatality rate rendah) yang keduanya lebih tidak enak dibandingkan PSBB.
Semoga kita semua bisa dikuatkan dalam menghadapi apa yang akan didepan, dan terus beroleh pertolonganNya selalu, karena hanya faktor “pertolongan” lah yang bisa memperpendek semua skenario dari apa yang bisa kita jangkau dengan akal.