Gorontalo, mimoza.tv – Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai upaya Pemerintah Indonesia dalam menangani wabah virus corona tidak maksimal. Bahkan, PSBB yang sudah sekitar sebulan di terapkan ini disebut sebagan penanganan terburuk se Asia tenggara.
Mengutip Merdeka.com, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik J Rachbini, menilai kebijakan penanganan virus corona di Indonesia ini merupakan yang terburuk se-Asia Tenggara. Hal tersebut salah satunya terlihat dari penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang setengah hati.
“Kebijakan PSBB sudah sejak awal sangat setengah hati dan hasilnya sangat jauh dari sukses. Data hasil PSBB dan kebijakan pandemi Covid-19 di Indonesia paling tidak sukses atau bahkan buruk dibandingkan dengan tingkat kesuksesan negara-negara tetangga di ASEAN,” ujar Didik
Namun ternyata gerakan itu tak terlalu banyak memberikan manfaat, seperti diungkap oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Sebab INDEF, yang merujuk pada hasil riset internasional, menilai hasil PSBB di Indonesia merupakan yang terburuk di Asia Tenggara.
INDEF sendiri kata dia, mengaku mengutip data dari Endcoronavirus (ECV), sebuah koalisi relawan internasional yang khusus meneliti perihal perkembangan wabah COVID-19. ECV diklaim disokong oleh 4 ribu relawan, terdiri dari ilmuwan, organisator masyarakat, warga yang peduli, pebisnis, dan individu.
Dalam pekerjaannya, ECV membandingkan kurva perkembangan wabah dari berbagai negara. Koalisi relawan ini mulai bekerja sejak 29 Februari 2020 pada organisasi induk New England Complex Systems Institute (NECSI) di Cambridge, Amerika Serikat.
Didik sendiri membandingkan kurva Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain seperti Singapura, Kamboja, Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Hasilnya hanya Indonesia dan Singapura yang kurvanya berwarna merah, menandakan bahwa perkembangan peningkatan kasus masih sangat signifikan, sedangkan Malaysia kuning dan 3 negara lain hijau.
Namun yang sangat menyita perhatian adalah kurva Indonesia yang tampak menanjak tanpa ada penurunan signifikan. Bila dibandingkan dengan Singapura yang sama-sama merah, kurvanya sempat mengalami penurunan.
Dia pun mengaku heran dengan gerakan “New Normal” yang coba diimplementasikan pemerintah. Pasalnya gerakan itu menyebabkan adanya sejumlah pelonggaran PSBB, meski belakangan pemerintah membantah tegas.
“Dengan melihat fakta yang ada dan kurva yang masih terus meningkat, maka atas dasar apa wacana dan rencana pelonggaran akan dilakukan?” ucap Didik, dikutip dari Detik News.
Lanjut dia, baru wacana saja sudah semakin tidak tertib dan PSBB dilanggar secara massal di berbagai kota di Indonesia tanpa bisa diatur secara tertib oleh pemerintah. Keadaan ini menurutnya terjadi lantaran pemerintah menjadi masalah kedua setelah masalah COVID-19 itu sendiri. Pemerintah tidak menjadi bagian dari solusi, tetapi masuk ke dalam menjadi bagian dari masalah,” pungkas Didik.(luk)