Oleh: Riyanto Astono
Gorontalo, mimoza.tv – Vtube–sebagaimana program “paid to” lainnya–adalah lagu lama kaset baru. Sebuah model yang memang diciptakan untuk tak bertahan lama. Redup sebelum terang. Pudar sebelum mekar. Layu sebelum berkembang.
Bisnis menonton iklan dan dibayar itu jadul banget. Perkenalan saya pertama kali dengan yang begini adalah pada tahun 2003 melalui platform bernama Spedia.
Saking lamanya, hampir tak ada dokumen yang dapat dicari mengenai Spedia di jagat maya. Satu-satunya sumber yang dapat saya temukan ada di laman ini yang dibuat di tahun 2004, 16 tahun lalu.
Spedia sendiri adalah sebuah program paid to surf, melihat iklan dan dibayar. Saya bahkan sempat punya bukunya yang dibeli di gramedia.
Spedia adalah program yang legit dan membayar meski saya tak sempat mendapatkan apa-apa karena recehan yang dibayarkan tak cukup untuk menutup biaya internet saat itu yang masih mahal.
Tapi apa pun itu, Program Paid to surf akhirnya mati dengan sendirinya seiring dengan bubble dot com, tingginya fraud dan spamming yang menyebabkan penurunan drastis pemasang iklan yang menggunakannya–sumber pendapatan utama yang menghidupi bisnis ini.
Berlanjut di medio hingga akhir tahun 2000an, model bisnis lain dengan konsep serupa yaitu paid to click kemudian mulai eksis dan digemari. Di paid to click ini, kita dibayar untuk melakukan klik iklan.
Dan meski kita tahu pada akhirnya nasibnya pun sama mengenaskan, di tahun-tahun tersebut, terjadi sebuah revolusi pada paid to click yang membuatnya berubah 180 derajat.
Di paid to click yang berevolusi, pengguna tak hanya mendapatkan uang untuk setiap klik dan mendapatkan komisi dari setiap orang yang direferensikan melainkan juga dapat melakukan upgrade akun dengan membayar sejumlah biaya untuk mendapatkan bayaran yang lebih tinggi dari setiap klik yang dilakukan.
Semakin mahal paket membership yang dibayar, semakin mahal nilai per klik nya.
Dari situ, saat upgrade membership memegang peranan yang penting, bergeserlah ia dari paid to click menjadi skema ponzi, yaitu model bisnis yang tak lagi bergantung pada advertiser atau iklan sebagai produk utama, melainkan dari uang para member baru yang diputarkan.
Dan benar saja, sebab salah satu program Paid to click paling terkenal bernama Traffic monsoon kemudian tutup setelah dituntut karena melakukan praktik skema ponzi dalam bisnisnya.
Sayangnya, praktik yang sama kemudian secara luas diadopsi pada berbagai platform make money online lainnya seperti ‘paid to survey’, ‘paid to play game’ dan lain sebagainya.
Beberapa nama seperti swagbucks, Neobux, clixsense, PaidVerts, adzbazar, dan banyak lagi silih berganti untuk ahir dan tumbang mengisi hari-hari para peselancar jagat maya.
Adakah yang kamu kenal? Tebakan saya tidak ada. Nothing. Nada.
Sebab seperti yang saya katakan: ia memang diciptakan untuk layu sebelum berkembang.
Dan untuk alasan itulah, sampai hari ini tak ada top internet marketer di mana pun di dunia ini yang mengikuti program seperti ini dan merekomendasikannya. Tak ada satu pun. No one. Ninguno.
TSU
Kita bergeser ke lapangan yang lain.
Gagasan untuk mengubah bisnis periklanan dengan konsep revenue sharing atau membagi hasil keuntungannya kepada para pengguna juga terjadi.
Pada platform social media misalnya, TSU adalah salah satu nama yang terang-terangan menantang Facebook. (Note: Vtube juga digadang-gadang jadi penantang Youtube).
TSU sendiri adalah sosial media yang membayar penggunanya hanya dengan update status. Luar biasa. Dan memang cukup mencengangkan.
Sebab hanya dalam 6 bulan pertamanya, TSU berhasil mendapatkan 3,5 juta pengguna terdaftar, dimana Facebook dalam 10 bulan pertama sejak didirikan hanya bisa mendapatkan 1 juta pengguna saja.
Tapi kita pun tahu ceritanya: mayoritas orang bergabung adalah yang ingin menghasilkan uang dari membuat status dan bukan bersosial media seperti halnya Facebook.
Demikianlah, hanya butuh 3 tahun sebelum TSU gulung tikar.
Iklan adalah Iklan
Lalu Pertanyaan besarnya: Apa yang sebetulnya membuat semua itu dapat terjadi? Jawabannya simpel. That’s not how advertising works.
Iklan adalah media yang digunakan oleh entitas bisnis atau para advertiser untuk mencetak profit. Iklan adalah investasi yang menuntut ROI (return on investment) dan ROAS (return on ad spent). Saat iklan tidak memberikan hasil yang sepadan, semua advertiser di bagian dunia mana pun akan berhenti menggunakannya.
Di program-program ‘paid to’, saat orang diminta untuk melihat iklan dengan imbal balik mendapatkan bayaran, iklan tampil pada orang yang tidak tepat.
Cukup dengan alasan itu, iklan berjalan tak sebagaimana mestinya sehingga membuat para advertiser menutup keran anggarannya untuk beralih ke media periklanan lain yang lebih menguntungkan.
Dan saat uang tak lagi mengalir, kita tahu: matilah seluruh bisnis tentang melihat, mengklik dan menonton iklan.
Periklanan adalah sebuah produk. Sama dengan produk lainnya. Kita rela membayar nasi goreng hingga ratusan ribu rupiah yang rasanya lezat, tapi selalu merasa rugi untuk membeli nasi goreng basi meski jika itu hanya seharga 1000 perak atau bahkan gratis.
Inilah yang kemudian membuat para pembuat program ini memutar otaknya agar dapat bertahan. Sebab rugi betul kalau harus ditinggalkan karena peminatnya yang begitu banyak.
Alih-alih berharap aliran uang dari advertiser, mengapa tak memperolehnya dari para member saja? Sayangnya, alih fungsi ini secepat kilat mengubah bisnis periklanan menjadi skema ponzi yang ngeri-ngeri sedap.
Apakah Vtube?
Apakah Bisnis periklanan masa kini? Bukan. Itu lagu lama kaset baru.
Apakah Perusahaan big data? Bukan. Itu cuma gimmick.
Saya perlu satu video khusus untuk mengulas tentang big data. Tapi hanya dengan mengetahui model bisnisnya, ia jelas tak memenuhi 3 elemen dalam big data, yakni: volume, velocity dan variety.
Mengenai data, justru isu paling penting adalah tentang potensi pencurian data yang bisa dilakukan dari foto memegang KTP yang disyaratkan untuk bergabung.
Saya paham. Bagi kebanyakan orang di Indonesia, data pribadi dan privasi bukan sesuatu yang penting.
Hanya dengan foto KTP toh orang tidak bisa ngapa-ngapain, pikir mereka. Mungkin betul. Mungkin juga salah.
Saya tidak tahu anda bagaimana. Tapi kalau saya, saya tidak akan menyerahkan data pribadi, membagikan foto KTP, terlebih foto dengan memegang KTP kepada pihak yang tidak berkepentingan dan yang saya yakini betul keamanannya.
Masalahnya–seingat saya–saya pernah membuat rekening bank, membuka akun sekuritas menggunakan foto selfie sambil memegang KTP. Saya tidak tahu dengan pinjol dan layanan lainnya karena tidak pernah pakai, tapi kemungkinan besar itu juga bisa dilakukan.
Dan bukan saya yang bilang. Menkominfo telah mengimbau agar masyarakat lebih berhati-hati untuk menjaga kerahasiaan data pribadi, khususnya dalam mendaftar ragam aplikasi tertentu sebagaimana yang dapat dibaca di link ini.
Oke lanjut.
Lalu apakah Vtube?
Menurut saya, Vtube adalah 2 hal berikut ini:
Pertama, ia akan menjadi perusahaan periklanan yang segera kehilangan advertiser dalam waktu singkat.
Kedua, ia hanya akan menggunakan tetek-bengek iklan sebagai bungkusnya dengan sistem membership sebagai produk utamanya, dimana uang para member lah yang diputar, peduli amat dengan iklan dan advertiser. Sayangnya, sekali lagi, model begini terlalu dekat dengan skema ponzi. Cuma butuh terpeleset satu kali untuk menjelma perusahaan ilegal.
Okelah Anda masih tak setuju.
Saya tahu. Saya tahu.
Kamu pasti mau bilang “ga ada ruginya karena toh join Vtube itu gratis, kan?”
Disinilah pangkal masalahnya. Gratis itu telah membuat kamu berhenti bertanya dan berpikir.
Dan antusiasme mu akan kegratisan ini pada akhirnya membuatmu tak lagi mempertanyakan darimana vtube mendapatkan uang jika video iklan nya test melulu atau jika tak ada lagi pemasang iklan. Sebab fokusmu kini hanyalah bintang-bintang.
Padahal saat ini Vtube sedang melatih dan membiasakanmu untuk melakukan upgrade akun untuk tetap dapat menggunakannya setelah 40 hari meski itu juga dapat kamu bayar dari viewpoint mu tanpa harus merogoh kocek sedikit pun. Kocekmu memang aman, tapi apakah kamu sadar jika yang didapat cuma recehan?
Lalu kamu pun berkata bahwa Vtube tidak boleh menerima sepeser pun uang dari anggotanya.
Mungkin benar untuk saat ini. Tapi percayalah jika ini tak akan berlangsung lama. Sebab tanpa aliran uang dari pemasang iklan kamu pikir dari mana uang untuk membayarmu berasal?
Tapi kamu mana mau peduli dengan itu semua. Karena toh ini gratis.
Padahal jika semua orang sepertimu maka exchange counter tak akan punya pembeli. Itu artinya kamu harus menunggu 7 hari untuk menjual VP mu meski sudah dipotong dengan exchange fee yang luar biasa besar.
Itu pun dengan catatan Vtube memiliki uang untuk membayarmu.
Kamu bergeming. Tetap kukuh dengan rencanamu besarmu untuk mencari uang kecil dengan Vtube. Gratis adalah masalah besar. Sebab ia selalu bisa menjadi alasan bahwa kamu tak rugi apa pun.
Padahal serugi-ruginya orang adalah yang menghabiskan waktunya untuk nilai yang tak sepadan. Mengerjakan yang sia-sia.
Sebab Kamu bisa membeli pesawat jet paling mahal sedunia. Kamu bisa membeli gedung pencakar langit. Kamu bisa membeli sebuah pulau.
Tapi kamu tidak pernah bisa membeli waktu.
Jadi apakah Vtube penipuan dan apa betul hanya dengan menonton video kamu dapat menghasilkan jutaan rupiah dari rumah?
Kamulah yang memutuskan. Dan kita biarkan waktu yang menjawabnya.