Oleh: Nanang Masaudi
Bahwa penjara selama ini sering dianggap sebagai tempat untuk mengisolasi orang-orang yang moralnya rusak memang tidak salah lagi, namun juga tidak sepenuhnya benar.
Memang betul bahwa disanalah orang-orang yang bermental bejat seperti koruptor dan gembong narkoba ditahan. Benar juga bahwa di dalam sana orang-orang yang lemah iman seperti para pemerkosa, pencuri, dan penipu sedang meringkuk. Tetapi persepsi bahwa penjara adalah rumah orang-orang jahat dan tempat untuk menista harga diri manusia yang divonis sebagai penjahat tidak boleh terus dipelihara. Persepsi keliru ini harus dirubah sebagai bentuk tanggungjawab nurani kita sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan.
Setiap manusia diberikan kecenderungan berupa potensi berbuat salah. Kapan dan bagaimana cara kita kembali kepada fitrah kemanusiaan, itu hanya soal waktu dan takdir. Penjara hanyalah salah satu tempat muhasabah orang-orang yang sedang berubah. Penjara juga hanyalah sebuah konsekwensi hukum yang menjadi ijtihad manusia dalam menciptakan keteraturan yang diinginkannya.
Pantaskah kita menganggap mereka yang tertahan di sel-sel penjara lebih hina dari mereka yang berkeliaran bebas? Padahal mereka yang nampak seolah bebas itu sebenarnya sedang terpenjara juga oleh kenyamanan dalam kungkungan hawa nafsu mereka. Sedangkan mereka yang ada di balik jeruji itu batinnya sedang dibimbing oleh masalah yang sedang dihadapinya dan itulah pembimbing terbaik mereka.
Tidak sedikit mereka yang terjerembab dalam perbuatan nista justru mengalami transformasi jiwa yang lebih membekas dan mencerahkan ketika berada di balik jeruji. Banyak karya-karya besar yang menerangi peradaban manusia justeru datang dari balik dinding penjara.
Penjara bukan hanya monopoli pelaku kejahatan untuk menemukan perubahan mereka. Terkadang ada orang-orang yang karena terlalu berani untuk berbeda, maka penjara menjadi konsekwensi politis yang harus dihadapi. Tidak sedikit di antara mereka yang sekaligus juga menjadikan penjara itu sebagai ruang kontemplasi untuk memperkaya khazanah batin mereka. Sebut saja nama-nama besar seperti Buya Hamka, Ibnu Taimiyah, dan Saíd bin Musayyab yang justeru menemukan banyak pencerahan dan bimbingan batin serta menciptakan karya besar mereka ketika berada di dalam penjara.
Andai mata batin dapat menyaksikan sesungguhnya tak ada satupun kekuatan selain Allah yang sanggup memenjarakan seorang pejuang sejati, dia akan terus bebas sepanjang keberanian terus menggelora dalam jiwanya. Dia tetap bebas selama keyakinannya terhadap kebenaran tak tergoyahkan meskipun godaan terus menghampiri dan teror terus dilancarkan oleh para perancang makar.
Sebaliknya manusia yang mengira diri mereka bebas, sesungguhnya merekalah yang terus terpenjara. Penjara yang tidak hanya memenjarakan tapi juga memperbudak dan meluluh lantak moral dan akal.
Itulah penjara berupa rasa takut. Takut kehilangan posisi, takut kehilangan pendapatan, takut kehilangan citra diri, dan takut pada kematian.
Itulah penjara kebencian. Benci karena berbeda, benci karena dikritik, benci karena lahan basahnya terusik, benci karena jabatannya digoyang.
Itulah penjara hawa nafsu. Nafsu terhadap harta, tahta, dan wanita.
Mereka yang sedang terpenjara oleh rasa takut meneriakkan kebenaran, mereka yang terpenjara oleh rasa benci dan hawa nafsu, merekalah yang seharusnya bersedih dan menderita. Karena mereka sesungguhnya tak pernah bebas dari apa yang memenjarakan mereka di dunia.
Pantaskah duka mendalam kita tunjukkan atas seorang pejuang yang dijebloskan ke penjara? Padahal dalam jiwanya tidak sedikitpun terbersit rasa takut dan sedih. Padahal dia sendiri meyakini bahwa pikiran dan cita-cita perjuangannya tidak mungkin dapat dipenjarakan. Konsistensi dan keteguhannya juga tak dapat dibeli oleh materi duniawi.
Tak ada penjara yang dapat meredam rasa cinta antara pejuang dan pengikutnya. Penjara tak akan sanggup mengerangkeng cita-cita, karena peradaban hakiki terwujud bukan oleh sosok atau figur tetapi oleh cita-cita dan perjuangan.
Narasi apik yang dibangun dan disebarkan untuk membunuh karakter sang pejuang, hanya akan menambah pengikut yang bersimpati dan semakin memantapkan simpati para pengikutnya.
Makar dahsyat yang dirancang untuk membungkam perjuangannya, hanya akan menjadi pemantik militansi para pengikutnya.
Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah kewajiban, sedangkan fitnah (ujian) adalah sunnatullah yang menjadi hak para pejuang. Itulah keyakinan yang tumbuh subur dan lahir dari iman yang bersih.
Seorang pejuang yang tidak pernah dimusuhi, bukanlah pejuang sejati.
Seorang penyeru yang tidak pernah membuat pelaku kebatilan merasa diseru, bukanlah penyeru sejati.
Bagi seorang pejuang tidak ada yang nampak besar di hadapannya. Raja atau panglima, penjara atau tiang gantung, sembilan naga sekalipun, bahkan kematian, semua terlihat kecil. Hanya ada Allah yang Maha Besar. Begitulah para pejuang memaknai kalimat takbir.
Kemanakah berjuta pengikutnya? Mengapa mereka tidak berkumpul untuk membela?
Bukankah mudah bagi Allah untuk menggerakkan para pengikutnya seperti dulu Ia telah mengumpulkan mereka di bawah sebuah menara yang menjadi simbol perjuangan?
Tak mungkin tak ada hikmah di balik setiap peristiwa. Entah makar apa yang sedang Allah persiapkan. Wallahu a’lam bish-shawab.
وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِيْ ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُوْنَ
“… dan janganlah engkau bersedih hati terhadap mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl: 127)