Gorontalo, mimoza.tv – Sejak menjabat sebagai Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Gorontalo pada Desember 2019, sosok Ignatius Gunadi menjadi nahkoda perubahan di Lapas tersebut. Salah satunya dengan menyulap penjara seperti “pesantren”.
Ignatius mengakui, memang pokok dari semua program pembinaan di Lapas Kelas II A Gorontalo adalah pembinaan mental spriritual.
“Karena hal itu menjadi dasar kita untuk merubah perilaku orang. Dari yang menyimpang, menyadari diri, bertobat, dan berbuat baik,”Ucap Ignatius saat tampil di program Podcast Mimoza Tv.
Program-program mental spriritual itu sendiri lanjut Ignatius terbagi atas beberapa hal. Begitu seseorang menjadi warga binaan, akan melalui tahapan tes sejauh mana pengetahuan seseorang tentang keagamaannya.
“Contohnya seperti pak Yoker ini yang belum bisa baca tulis Al Quran, levelnya lain. Ada yang sudah bisa baca tulis Al Quran tapi belum bisa hafiz, levelnya lain lagi. Kalau levelnya sudah semua, ada level lagi nanti yang bisa belajar untuk tauziah. Termasuk juga beberapa yang kita harapkan semakin meningkatkan mental spriritual warga binaan. Moto kami adalah, masuk Napi keluar santri,” ucap mantan Kalapas Lamongan ini.
Tak hanya jadi santri saja, Ignatius juga berharap para Napi ini juga setelah keluar nanti bisa menjadi ustadz, imam dan lainnya yang berasal dari Lapas.
“Kami ini sebenarnya beruntung sebagai petugas Lapas. Kami di gaji negara dan diberi kesempatan untuk mendapatkan pahala dengan mengangkat saudara-saudara kita melalui program pembinaan mental spiritual,” imbuhnya.
Dirinya mengakui juga, program pembinaan mental spriritual ini pernah dilakukan saat dirinya menjabat sebagai Kalapas Lamongan, Jawa Timur. Kala itu kata Ignatius, pihaknya bekerja sama dengan pondok pesantren yang ada di daerah tersebut, untuk mencetak santri-santri dari warga binaan.
Muara dari berbagai program pembinaan itu lanjut dia, adalah bukan hanya dari keterlibatan pihak lapas maupun warga binaan saja. Tetapi keterlibatan masyarakat juga dalam hal stigma.
“Kita tau stigma mantan narapidana ini sampai sekarang masih melekat. Dalam tanda petik mantan Napi ini pasti jahat. Sebetulnya tidak. Makanya keterlibatan masyarakat, Pemda, serta keluarga juga menjadi penting. Harus ada dukungan dari berbagai pihak kepada saudara kita yang sudah lulus dan selesai membayar hutang kepada negara dengan menjalani penjara,” tutur Ignatius.
Dirinya berharap juga masyarakat menerima nantan Napi ini apa adanya.
“Tidak selamanya orang itu akan jahat terus. Beri mereka kesempatan sesuai dengan ketrampilan yang mereka dapat dari sini. Dengan memberikan mereka kesempatan,saya yakin mereka tidak mau kembali lagi ke sini (baca: Lapas),” pungkasnya.(luk)