Gorontalo, mimoza.tv – Masalah penganiayaan yang menimpa Jefry Rumampuk, seorang pemimpin redaksi di media online Butota.id, hingga saat ini masih menjadi topik hangat perbincangan banyak kalangan.
Ketua Dewan Pers Indonesia, Hentje Mandagie, dalam penjelasannya saat tampil di Podcast Mimoza Tv yang tayang lewat akun Fan Page Mimoza.Tv, Senin (28/5/2021) malam mengatakan, persoalan yang menimpa pimpinan redaksi itu harus menjadi perhatian dan tanggunggjawab bersama.
“Saya melihat kawan-kawan wartawan di Gorontalo sangat responsif terhadap kejadian ini. Bahkan ada beberapa LSM juga sudah bergerak. Ada juga lembaga bantuan hukum yang intens juga menyampaikan perkembangan kepada kami. Sehingga itu persoalan ini harus menjadi perhatian dan tanggungjawab kita bersama,” ucap Hentje.
Lebih lanjut dirinya menyampaikan bahwa isu yang berkembang saat ini, ada pengakuan dari salah satu pelaku, bahwa ada rekayasa pengakuan seolah-olah ada korelasi degan penyidik.
“Ini membingungkan keluarga. Bahwa ada seolah-olah ada keseragaman. Sehingga itu kami menganggap ini harus di kawal oleh teman-teman wartawan di Gorontalo. Jangan sampai terjadi bargening. Polisi harus benar-benar independen dan harus diawasi. Karena ini sangat kental seperti ada aktor intelektual dibalik itu,” ujarnya dalam program yang dipandu oleh Nurhadi Taha tersebut.
Sementara itu, Abdul Muis Syam, wartawan senior serta narasumber di acara tersebut mengungkapkan, kejadian yang menimpa Jefri Rumampuk tersebut tidak bisa di tolerir lagi dan harus dilawan.
“Yang saya tekankan kepada khalayak bahwa, wartawan atau jurnalis itu adalah pekerja otak. Artinya identing dengan menggunakan intelektual. Sehingga ketika kekerasan muncul, maka seolah-olah ada pemaksaan untuk kita dipaksa berbuat dengan otot. Tapi saya pikir tidak mungkin kita terjebak disitu. Kita tetap bekerja secara otak,” ujar Syam.
Dengan demikian lanjut dia, hal itu menandakan bahwa wartawan itu adalah kaum intelektual, yang harusnya ketika terjadi permasalahan, maka harus diselesaikan juga secara intelektual, dan bukan dengan cara-cara premanisme seperti yang terjadi saat ini.
Pada kesempatan yang sama juga Hadi Sutrisno Daud menyampaikan apresiasi kepada aparat kepolisian Polres Gorontalo Kota yang hanya dalam waktu 2 X 24 jam bisa menangkap dua pelaku penganiayaan terhadap seorang wartawan.
“Saya juga salut dengan Kapolda Gorontalo yang menginstruksikan Polres Gorontalo Kota saat itu, untuk mengungkap kasus ini dalam waktu 3 X 24 jam, yang akhirnya bisa diungkap dalam waktu 2 X 24 jam. Muda-mudahan ini menjadi salah satu jalan masuk untuk mengungkap Jefry ini dianiaya karena tulisan-tulisannya, atau apakah benar ada aktor intelektual dibalik peristiwa itu,” ujar Hadi.
Lebih lanjut pimpinan di Mimoza Tv ini mengatakan, memang belakangan ini tulisan-tulisan dari korban tersebut sangat tajam. Bahkan dari pemberitaan di beberapa media, bahwa sebelum kejadian, korban sempat mendapat ancaman-ancaman dari orang tak dikenal.
“Berbicara soal kekerasan terhadap wartawan itu bentuknya bukan hanya seperti penganiayaan itu. Namanya kekerasan terhadap pers itu ada yang bentuknya intimidasi, menghalang-halangi wartawan, itu juga termasuk bentuk kekerasan. Undang-Undang Nomor 40 itu jelas tertulis ancamannya 2 tahun penjara. Tapi mari kita lihat UU ITE, dimana oarng yang hanya menyebarkannya ancaman penjaranya sampai 6 tahun penjara,” kata Hadi.
Seharusnya lanjut dia, UU yang digunakan dalam pers itu harus UU Pers Lex spesialis. Harusnya yang melakukan kekerasan terhadap wartawan itu kata diam hukumannya lebih berat lagi. Apalagi masuk dalam kategori penganiayaan berat terhadap wartawan.
Diakhir program tersebut ketiga wartawan senior ini berharap, pers di Gorontalo dapat mengawal proses demi proses perkara penganiaan tersebut. Mereka pun mengajak wartawan di Gorontalo untuk menanggalkan atribut, baik itu organisasi pers itu sendiri maupun oraganisasi media, untuk memembentuk tim investigasi yang terkoordinir.(luk)