Oleh: Nanang Masaudi
Dua pekan lebih sejak diberlakukannya kebijakan PPKM Darurat, pemberitaan di berbagai lini media massa dan platform media sosial justeru banyak menyoroti kagaduhan-kegaduhan kecil di beberapa tempat.
Tak pelak lagi hal ini cukup menyita perhatian publik. Sosialisasi penerapan PPKM oleh pemerintah yang melibatkan hampir seluruh lini struktur pemerintahan pusat hingga daerah yang di-back up oleh aparat TNI-Polri terancam gagal memberi dampak edukatif dan persuasif tentang manfaat dan tujuan PPKM.
Dalam hitungan hari akronim atau istilah PPKM menjadi begitu sangat populer menyusul popularitas pendahulunya di awal pandemi dulu yaitu PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Walau banyak juga warga yang tidak hafal betul apa sebenarnya kepanjangan PPKM tersebut, tapi warga dunia maya justru memiliki versi kepanjangannya sendiri dan ternyata kepanjangan versi warganet ini malah menjadi lebih populer dibanding kepanjangan PPKM yang sebenarnya.
Beberapa kepanjangan plesetan yang kini menjadi viral di medsos itu seperti : Pelan Pelan Kami Mati, Para Pedagang Kembali Menangis, Pelan Pelan Kita Miskin, dan masih banyak lagi. Para pakar dan pengamat sosial berpendapat bahwa dinamika ini harus dibaca oleh pembuat kebijakan sebagai bentuk kritik yang makin berkembang lebih kreatif di kalangan masyarakat terutama kaum millenial.
Arogansi Yang Numpang Tenar
Selain membanjirnya istilah plesetan bagi PPKM, di beberapa operasi razia oleh petugas PPKM ternyata masyarakat dibuat kecewa dengan cara penertiban yang terkesan arogan. Entah kenapa kata arogan ini tiba-tiba menjadi lebih sering terdengar dari istilah PPKM itu sendiri seiring diberlakukannya program tersebut oleh pemerintah.
Boleh jadi justeru karena sikap arogan inilah yang menjadikan publik menjadi gagal fokus terhadap persoalan utamanya, yaitu tentang sebab dan tujuan diberlakukannya PPKM sebagai akibat makin parahnya penyebaran covid 19.
Publik menjadi sangat gaduh ketika dipertontonkan gaya dan cara penerapannya di lapangan oleh petugas PPKM. Dominasi isu tentang gelombang kedua ‘serangan’ virus varian delta dan informasi penambahan kasus covid 19 tiba-tiba makin tenggelam akibat terlalu bisingnya kegaduhan dalam dinamika penerapan PPKM oleh satgas di lapangan yang mengundang banyak komentar keras, sarkas, bahkan cukup kasar.
Tak tanggung-tanggung, warga masyarakat sekelas Paspampres saja ikut merasakan dampak arogansi petugas di lapangan. Insiden yang dialami oleh seorang prajurit paspampres bernama Praka Izroi yang ikut tercegat di pos sekat PPKM jalan Daan Mogot, Kalideres oleh petugas yang bersikap arogan adalah sebuah potret buruk model pendekatan petugas ketika menghadapi masyarakat biasa.
Padahal Paspampres adalah petugas yang termasuk dalam kategori pekerja di sektor esensial dan kritikal yang boleh melewati penyekatan sesuai Instruksi Mendagri Nomor 15 Tahun 2021. Nah, karena insiden ini pula diduga banyak petugas di lapangan yang ternyata belum memahami aturan PPKM itu sendiri.
Insiden yang dialami praka Izroi kini terlanjur menyita begitu banyak perhatian warganet yang beramai-ramai mem-posting berbagai komentar dan pendapat. Praka Izroi mendadak viral dan menuai banyak pujian dari netizen. Ada yang memuji ketampanannya, ada juga netizen yang menyebutnya sebagai calon mantu ideal di era millenial.
Di antara ribuan komentar bernada pujian kepada praka Izroi, yang paling ramai sebenarnya adalah pujian pada sikapnya yang rendah hati ketika menghadapi para oknum petugas yang arogan. Komentar bernada kecaman justeru banyak dialamatkan kepada oknum petugas berpakaian preman yang bersikap arogan kepada praka Izroi.
Bagaimanapun juga insiden tersebut telah menggoyahkan hubungan sinergis TNI-Polri yang sedang giat-giatnya dibina oleh petinggi kedua intitusi. Ucapan sang oknum aparat arogan yang mengatakan ‘kalau kamu Paspampres emangnya kenapa!?’ sangat disesali banyak pihak dan dinilai merupakan sikap yang telah merendahkan institusi penting negara yang merupakan tempat berkiprahnya para prajurit TNI terbaik dan pilihan.
Renungan Dibalik Insiden Praka Izroi.
Pada sisi tertentu, sebenarnya sikap petugas yang cenderung arogan boleh saja dimaklumi, karena mereka juga mungkin bekerja dalam tekanan tinggi tanpa kenal waktu. Mereka juga manusia yang memiliki naluri ingin bersama keluarga mereka di masa pandemi seperti saat ini.
Di sisi lain pula, memang tidak mudah bagi seseorang yang pada dirinya tersandang embel-embel atau balutan yang menjadi simbol kelebihan strata sosial di masyarakat dapat begitu saja lolos dari sikap arogan atau sombong. Siapapun tahu bahwa sikap arogan itu adalah sikap yang sangat jelek, tapi tidak semua orang berpangkat dan berharta mudah lepas dari jerat perangai buruk seperti ini.
Jangankan jabatan tinggi, sehelai seragam profesi yang menjadi kebanggan ketika melekat di badan pun pasti akan memicu adrenalin kesombongan pemakainya. Seragam kebesarannya menjadi pemicu adrenalin kesombongan dan biasanya akan diikuti oleh sikap badan, dagu terdongak ke atas, dada membusung ke depan, bicara berlagak penguasa, sikap menjadi lebih ja’im, menjadi tidak ikhlas ketika di anggap remeh, dan mentalnya dikendalikan oleh power syndrome ingin diakui.
Harta, pangkat, gelar, jabatan, profesi, pekerjaan bergengsi, kekuatan fisik, kecantikan paras, kemahiran, kepintaran, kekuasaan, nama besar, marga atau nasab, memang merupakan biang yang kerap membuat manusia menjadi lupa terhadap siapakah ‘dirinya’ yang ada di balik balutan embel-embel itu. Apa jadinya bila embel-embel berupa pangkat dan kedudukan ditarik kembali oleh Pemilik Kuasa? Ternyata kita ini memang bukan siapa-siapa ketika embel-embel itu dilepas.
Dalam melakukan pendekatan yang lebih humanis kepada masyarakat yang bukan pelaku tindak kriminal, sebaiknya petugas menjadikan kesabarannya sebagai modal yang sangat penting. Dalam situasi yang serba sulit warga masyarakat menjadi kalut dan terhimpit oleh keadaan, olehnya itu penggunaan cara-cara represif untuk menakut-nakuti rakyat bukanlah cara yang elegan. Bila petugas tidak memiliki kesabaran maka dikhawatirkan masyarakat yang tadinya beradab bisa berubah menjadi biadab, dan warga yang tadinya tidak berpotensi kriminil malah bisa berubah menjadi pelaku kriminil. Kerendahan hati petugas walau banyak dikecam dimana-mana tidak akan membuat kehormatannya tercoreng dan pangkatnya diturunkan. Justeru, sikap seperti itu akan mengundang banyak simpati.
Sebaliknya tindakan arogan juga tidak akan membuat pangkat dan kehormatannya dinaikkan karena sikap itu. Malah yang terjadi justeru citra institusinya tercoreng yang bisa berakibat menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga.
Si Mikro Yang Terkesan Lebay.
Secara khusus, penerapan PPKM mikro di provinsi Gorontalo juga tak luput dari kritik pedas berbagai kalangan. Selain tentang arogansi petugas, kritik juga diarahkan pada model penerapan mikro yang terkesan lebay karena hampir tak ada bedanya dengan PPKM darurat di Jawa-Bali. Di kalangan masyarakat awam juga cukup ramai dengan beragam komentar polos mereka ketika menyaksikan lapak-lapak pedagang ditutup paksa bahkan ada kursi dan dagangan mereka yang diangkut oleh petugas.
Di antara beberapa suara rintihan dan keluhan masyarakat dan pedagang yang sempat terdengar kurang lebihnya dapat kami kutipkan sebagai berikut :
– “Saya kaget! Peraturan tiba-tiba berubah yang tadinya kami diminta menerapkan protokol kesehatan, tapi ternyata disuruh tutup pukul 9 malam”.
– “Dalam seminggu ini pendapatan kami sangat menurun. Apalagi para pembeli biasanya datangnya di malam hari, sedangkan kami membuka dagangan baru jam 4 sore.”
– “Penerapan PPKM ini tidak diiringi pemberian bantuan kepada pedagang yang mengalami kesulitan penghasilan.”
– “Kalau pemerintah mau bayar gaji karyawan dan cicilan kredit bulanan kami di bank, maka kami ikhlas menutup lapak kami.”
– “Kenapa petugas bukan fokus mengurai kerumunan saja, apa salah saya sebagai pedagang kecil? Tidak ada PPKM saja dagangan saya sudah sepi, apalagi sudah begini modelnya.”
– “Tindakan ini sama saja dengan menjajah bangsa sendiri”.
– “Kalau pemerintah mau melakukan pembatasan pergerakan masyarakat tanpa perlu mengerahkan banyak aparat, kenapa tidak dihentikan saja pasokan BBM ke SPBU kemudian lakukan pemadaman listrik setiap hari, dijamin murah dan otomatis langsung lock-down skala dewa”.
Semoga ada evaluasi serius dari para pimpinan di tingkat pusat sampai di daerah terkait model penerapan PPKM yang terkesan reperesif dan kurang humanis.