Gorontalo, mimoza.tv – Indonesi disebut sebagai negara yang mempunyai kebun kelapa terluas di dunia. Namun sayangnya, hingga saat ini baru mampu memenuhi 3 persen kebutuhan sabut kelapa dunia.
Bahkan, Efli Ramli, selaku Ketua Asosiasi Industri Sabut Kelapa Indonesia (AISKI) menyebut, Sebagian besar sabut kelapa terbuang begitu saja tanpa diolah, bahkan dibakar.
Seperti yang mimoza.tv kutip dari mediaperkebunan.id, Efli mengaku, setiap bulan perusahaanya saja hanya mengekspor 30 kontainer coco fiber dan 35 ton coco peat. Sementara permintaan coco fiber China adalah 3.000 kontainer/tahun sedang Eropa Timur 200 kontainer. Permintaan coco peat China 3000 kontainer/tahun, Jepang 1500 kontainer, Korea 1500 kontainer, Itali 300 kontainer, Jerman 200 kontainer, Belgia/Belanda 300 kontainer, Israel 300 kontainer dan negara-negata Timur tengah 300 kontainer.
“Permintaan itu real hasil kunjungan saya ke negara itu, bukan mengambil data statistik. Saya pernah berkunjung sebuah kota di dekat Beijing, industri matras di sana selalu bertambah. Sabut kelapa digunakan sebagai bahan baku matras sehingga permintaanya naik terus. Namun anehnya, harganya fluktuatif sehingga saya pernah mengumumkan kepada seluruh anggota AISKI untuk stop ekspor dulu ketika harga rendah,” katanya.
Efli mengatakan, industri seperti yang ia miliki bisa dibangun dengan skala kecil dengan luas lahan 1 hektar, tenaga kerja 65 orang, modal permesinan dan bangunan Rp500 juta, modal kerja Rp75 juta, kebutuhan bahan baku 15.000 butir per hari.
Dirinya mengaku, dengan kebutuhan bahan baku kelapa mencapai 15 ribu butir, hasil produksinya mencapai 2 ton coco fiber dan 3 ton coco peat perhari, serta net profit Rp1,25 juta per hari dan BEP sekitar 15 bulan.
“Supaya potensi sabut kelapa yang luar biasa ini bisa memenuhi kebutuhan dunia maka tiap sentra produksi kelapa harus didirikan industri ini. Industri ini harus dekat bahan baku. Saya sendiri siap melatih pelaku usaha agar memproduksi sabut kualitas ekspor,” imbuhnya.
Efli juga menambahkan, sebenarnya kualitas sabut Indonesia lebih baik dibanding negara lain. Harga sabut juga sangat murah. Indonesia juga merupakan negara penghasil kelapa terbesar dan transportasi lewat tol laut sudah memadai. Ini adalah keunggulan Indonesia.
Lalu bagaimana dengan Provinsi Gorontalo? Mari melihat datanya. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 menyebut, luas tanaman perkebunan kelapa di Provinsi Gorontalo sebesar 54,865 ribu hektar. Meski kalah jauh dari provinsi tetangga yakni Sulawesi Utara (Sulut) yang saat ini mencapai 275 ribu hektar, namun saja potensi Coco Fiber maupun Coco Peat di bumi “Serambi Madina” ini cukup besar.
Bahkan di bandingkan dengan Sulut, pada tahun 2018 lalu Provinsi Gorontalo dalam hal ini Lembaga Pemasyarakatal (Lapas) Kelas III A Pohuwato telah melakukan ekspor perdana produk Coco fiber ke Wusan, China, tepatnya Kamis (15/11/2018).
Lapas yang berada di ujung barat Provinsi Gorontalo ini bahkan tercatat sebagai 11 lapas di Inonesia yang telah mengekspor hasil kerajinan warga binaannya.
“Di daerah kami sabut kelapa ini sangat melimpah. Bahkan kalau tidak dibiarkan begitu saja, sabut kelapanya di bakar. Miris memang. Sebenarnya ini menjadi potensi besar bagi daerah ini, agar Gorontalo tidak hanya dikenal dengan jagung, tapi juga mampu memproduksi bahkan mengekspor sabut kelapa ini,” tutur Razak, salah seorang warga di Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato.
Menurutnya, apa yang telah dilakukan oleh Lapas tersebut, seharusnya menjadi atensi pemerintah maupun pemangku kebijakan untuk membangun industrinya lebih besar lagi.
kata Razak, apa yang telah dilakukan oleh Lapas Pohuwato ini sifatnya hanya memantik saja, agar pemerintah maupun pengambil kebijakan melihat hal ini sebagai peluang daerah.
“Kita berharap demikian. Coba bayangkan kalau industri ramah lingkungan ini di buka di Gorontalo, pasti akan membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan devisa daerah. Dan yang tak kalah menarik, baik Coco Peat maupun Coco Fiber ini menjadi produk pelipur lara ketika harga kopra tak menentu,” tandasnya.
Pewarta: Lukman.