Gorontalo, mimoza.tv – Pasca sidang lanjutan perkara batu hitam yang melibatkan empat warga negara asing (WNA) asal Cina, dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), dilaksanakan Selasa (29/11/2022) di Pengadilan Negeri Kota Gorontalo, dimana ke empat warga Cina yang menjadi terdakwa dalam kasus tersebut dituntut hukuman penjara 3 tahun 6 bulan, serta denda Rp.1 miliar, berbagai elemen masyarakat menyuarakan kepentingan masing-masing.
Terakhir pada hari Senin (5/12/2022) aksi massa yang menamakan diri Aliansi Pemuda Peduli Hukum dan Keadilan Gorontalo menyuarakan aspirasinya di Pengadilan Negeri Gorontalo, Senin 5 Desember 2022 ;
Kesal, Ketua Pengadilan Semprot Orator
Ada hal menarik yang terjadi pada demo kali ini. Lantaran tidak fokus mendengarkan penyampaian tanggapan dari pihak PN Gorontalo, Ketua PN Gorontalo Rendra Yozar Dharma Putra SH MH yang saat itu turut menerima pengunjuk rasa sempat semprot massa aksi.
Saat kejadian, Ketua Pegadilan menemui massa aksi yang menyampaikan isi tuntutan demo yang menyesalkan tuntutan yang rendah dari Jaksa Penuntut Umum yaitu 3 tahun 6 Bulan pidana Penjara, massa manuntut pengadilan untuk menjatuhkan vonis yang lebih tinggi yaitu 5 tahun penjara bagi terdakwa 4 orang WNA tersebut. Disamping itu pula aksi massa mempertanyakan pemanggilan Ahli dari Dinas terkait di provinsi Gorontalo.
Menjawab tuntutan massa aksi, Rendra Yozar menyampaikan bahwa perihal tuntutan Jaksa merupakan ranah daripada jaksa penuntut umum.
“Ketika persoalan ini masuk, pengadilan kemudian akan menguji apakah penyidikan yang dilakukan di kepolisian serta tuntutan yang diajukan oleh JPU apakah sudah sesuai dengan ketentuan atau tidak,” ucap Rendra Yozar.
Sedangkan terkait dengan ahli tersebut kata dia, sesuai dengan ketentuan pasal 182 Kitab Hukum Acara Pidana juga telah tegas diatur, bahwa sepanjang diperlukan keterangan ahli untuk terangnya suatu perisiwa pidana, kuasa hukum terdakwa, atau JPU dan majelis hakim dapat saja meminta atau memanggil ahli atau seseorang yang di pandang mengetahui secara keahliannya atau keilmuannya mengenai perkara yang diperiksa tersebut.
Mengikuti perkembangan Perkara lewat Media,
Salah satu Orator massa aksi menyampaikan bahwa pengananan perkara yang melibatkan 4 orang WNA ini mereka ikuti lewat perkembangan media.
Menanggapi hal ini Rendra Yozar juga sempat menanyakan apakah diantara massa pendemo ada yang merupakan mahasiswa fakultas hukum. Tidak mendapati satupun mahasiswa hukum, Rendra Yozar kemudian berpesan untuk perlu terlebih dahulu mempelajari materi atau uraian kasus yang menjadi bahan penyampaian unjuk rasa.
“Jika tidak mengetahui materinya, silahkan menyaksikan persidangan yang terbuka untuk umum. Pengadilan sangat terbuka dengan masyarakat dan mahasiswa yang ingin mengakses informasim” imbuhnya.
Pengadilan sendiri kata dia mendengarkan aspirasi semua pihak. Namun demikian kemandirian majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut tidak boleh diintervensi.
“Saya tahu orang Sulawesi keras-keras, gigih berjuang, kalau ada maunya harus didahulukan. Namun tidak demikian halnya dengan penganganan perkara. Siapa pun tidak bisa mengintervensi pengananan perkara ini. Kami juga demikian. Saya sebagai ketua pengadilan tidak bisa mengintervensi hakim. Hakim harus memutus sesuai hukumnya, tidak bisa mentang-mentang kami orang sulawesi atau saya orang Sumatera harus memaksakan kehendak,” tegasnya.
Terpisah dalam klarifikasinya Ketua Pengadilan Negeri Gorontalo itu tegas menyatakan kembali bahwa yang dimaksud dalam penyampaian itu dalam konteks pengananan perkara jangan ditafsirkan lain. (rls/luk)