Gorontalo, mimoza.tv – Dianggap mencaplok wilayah pertambangan rakyat di sejumlah lokasi di Kabupaten Bone Bolango, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jaringan Kemandirian Nasional (Jaman) Provinsi Gorontalo menggugat Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini Pemerintah Provinsi Gorontalo dan PT. Gorontalo Mineral.
Rommy Pakaya. SH, selaku kuasa hukum LSM Jaman saat dihubungi awak media ini menjelaskan, penggugat merupakan perkumpulan orang yang berkepentingan dan dirugikan sebagaimana uraian mengenai objek sengketa diantaranya tertuang dalam beberapa titik koordinat, dan titik lubang milik masyarakat yang dahulunya masuk dalam area tambang masyarakat yang dimasukan ke dalam konsesi PT. Gorontalo Mineral.
Beberapa lokasi tambang titik-titik koordinat tersebut kata dia, diantaranya; titik koordinat 123° 19’24,05”E(BT)/00°26’39.50’N (LU), dimana Ujud selaku pemilik lubang, dan dikelola oleh Anis Sulaeman alias Osi, Ilman Achmad alias Hilman; Owen, Yesi, serta Suryanto alias Aan. Sementara titik koordinat 123°19’23,99”E(BT)/00°26’39.64’N (LU) kata dia, pemilik lubang dan pengelolaannya oleh Opu Suryanto alias Aan.
“Titik-titik koordinat ini sebelum diterbitkannya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 98.K/MB.01/MEM.B/2022 Tentang Wilayah Pertambangan Provinsi Gorontalo yang telah dimasukkan dalam konsesi PT. Gorontalo Mineral merupakan wilayah yang telah di explorasi oleh masyarakat dan dimanfaatkan sebagai penyangga kehidupan masyarakat tempatan,” kata Rommy dalam keterangannya, Kamis (29/12/2022).
Dengan diterbitkannya keputusan Menteri ESDM tentang Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Wilayah Pencadangan Nasional (WPN), kata dia hal tersebut telah merampas hak-hak masyarakat Penambang di Kabupaten Bone Bolango.
“Perlu kami sampaikan juga bahwa Tergugat I sesuai dengan kewenangannya dan berkonsultasi dengan DPR yang kemudian merekomendasikan dan menetapkan WPR di Kabupen Bone Bolango sesuai dengan Kepmen, dimana ada sekitar 12 blok WPR dengan luas WPR yang diberikan berbeda-beda diantaranya ada dengan luas 42 hektar, 100 hektar, ada yang di atas 200 hektar, dan ada yang 19 hektar telah mengabaikan ketentuan Pasal 3 huruf e dan huruf f serta Pasal 24 UU Minerba, yang mana salah satu tujuannya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah dan negara dengan menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan,” imbuhnya.
Jaminan kepastian hukum tersebut lanjut dia, meskipun wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR.
Rommy juga menambahkan, karena telah ada WPR ditetapkan di Bone Bolango, sementara telah dilakukan pendataan masyarakat penambang baik perseorangan dan koperasinya, namun ditemukan fakta yang dikemukakan oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam hal ini Dinas ESDM, untuk data jumlah penambang sekitar tahun 2000 ada sekitar 5.000 hingga 10.000, namun belum tertabulasi dengan baik.
“Hal ini juga terungkap dalam fakta persidangan Perkara Pidana Khusus No. 177/Pid.Sus/2022/PN Gto dan No. 178/Pid.Sus/2022/PN Gto atau sidang kasus batu hitam kemarin, yang mana dalam fakta hukum menyatakan bahwa data masyarakat penambang tersebut belum tertabulasi dengan baik sehingga hal tersebut berakibat pada inventarisasi data yang tidak valid yang kemudian berimplikasi pada hak-hak Masyarakat untuk mendapatkan WPR telah diabaikan,” tutup Rommy. (rls/luk)