Oleh ; Funco Tanipu
Tulisan ini mencoba mengurai dan mengkaji dari perspektif sosio-antropologis mengenai sholat yang dalam bahasa Gorontalo disebut tabiya.
Kata Tabiya sendiri berasal dari kalimat tabi-tabi to Eeya yang artinya berkaitan dan bertautan dengan Allah. Selain itu, bisa diartikan mengingat Allah secara terus menerus tak lekang oleh waktu, dan tidak dibatasi waktu. Nanti ada istilah motabiya atau melakukan upaya mengingat.
Jika disebut berkaitan, bertautan dan terus mengingat, maka tabiya adalah praktek kehidupan yang harus dilaksanakan tanpa waktu yang menjadi pembatas. Disebut tabi-tabi karena seperti bernafas, diminta atau tidak, suka atau tidak, mau atau tidak, setiap manusia harus bernafas.
Karena itu, tabiya jika diartikan secara tekstual adalah hanya sholat semata, yakni kegiatan ibadah yang dibatasi dalam lima waktu sehari, dan katakanlah ditambah dengan sholat sunat, maka tidak akan sesuai.
Sebab, tabiya secara kontekstual dan dalam perspektif sosio-antropologis Gorontalo adalah ritual sepanjang waktu dan masa, tidak bisa dipersempit hanya dalam waktu tertentu, dan bukan hanya sholat semata.
Lalu, bagaimana tabiya dimaknai secara kontekstual?
Dalam kebudayaan Gorontalo, tabiya bukan saja gerakan dan ucapan dalam makna sholat semata, tapi aktifitas kehidupan mulai dari tidur (motuluhu), mandi (molihu), bisa merasakan sesuatu seperti dingin (mohuhulo), reaksi dari ingin tidur yang disebut mohuwabu (menguap), dan banyak aktifitas kehidupan yang dalam setiap kata ada huruf HU.
Hu jika diartikan lebih detail adalah singkatan dari Allah, Allahu, Allahu Akbar dan banyak ragam kata dalam penyebutan ke Pencipta.
Harapannya, dalam setiap aktifitas, ada upaya untuk terus mengingat, agar nantinya diharapkan pada saatnya nanti bisa bertautan dan berkait erat dengan Allah.
Olehnya, tabiya bukan praktek kuantitatif, yang bisa dihitung, dikadar, ditimbang oleh manusia, karena ukurannya sangat kualitatif, hanya bisa diukur olehNya.
Kenapa bukan kuantitatif? Karena jika tabiya diartikan sholat, apakah itu lima waktu, sholat sunat yang dalam banyak jenisnya, maka itu dalam konteks terukur secara kuantitatif.
Hitungannya sederhana, jika kita asumsikan sholat lima waktu memakan ± 10 menit, lalu katakanlah 5x sholat memakan waktu ± 1 jam. Misalnya usia seorang manusia sekitar 50 tahun, berarti waktu yang terpakai sholat sebanyak 18.250 hari x 1 jam maka total waktu adalah 2 tahun. Katakanlah kita tambah dengan sholat sunnah yang dilakukan 3 kali lipat waktunya, berarti ada sekitar 6 tahun waktu untuk sholat. Jika dikurangi 50 tahun berarti ada sekitar 46 tahun tidak melakukan “tabiya”, jika kita artikan tabiya adalah sholat semata.
Dalam kebudayaan Gorontalo, oleh leluhur kita dahulu, perhitungan kuantitatif ini yang coba diatur dalam istilah tabiya, bahwa tabiya tidak bisa dibatasi dalam kata sholat semata, tapi aktifitas sepanjang waktu. Tabiya atau secara sederhana kita artikan mengingatNya tidak bisa hanya selama 6 tahun saja jika usianya 50 tahun.
Oleh karena itu, leluhur Gorontalo telah berupaya memformulasikan setiap aktifitas kehidupan bisa berpadu dengan kegiatan mengingatNya hingga bertautan denganNya dalam bahasa Gorontalo.
Harapannya, orang Gorontalo bisa tahu, paham, kenal, ingat dan hingga suatu hari nanti bisa bertautan dengan Allah.
Tabiya akan sempit maknanya jika kita gunakan ukuran-ukuran manusia, karena praktek mengingat, paham, kenal dan bahkan bertautan dengan Allah, bukanlah kewenangan manusia untuk mengukur karena alat ukur manusia yang sangat terbatas. Sehingga, manusia tidak bisa menjustifikasi seseorang itu telah “tabi-tabi to Eeya” atau belum. Karena kewenangan justifikasi hanya pada yang berhak menakar seseorang itu telah iingat, paham, kenal dan bertautan, yakni Allah SWT.
Upaya manusia hanya pada bagaimana saling mengingatkan antar sesama dan saling mengajak untuk melakukan kebaikan, dalam rangka agar bisa “tabi-tabi to Eeya.
Pada skala yang lain, di Gorontalo ada banyak kegiatan ibadah selain sholat yang mengiringi kehidupan orang Gorontalo seperti modua salawati (yakni doa sholawat, apakah itu membaca ratib atau maulid), baik saat proses kelahiran, gunting rambut anak, nikah beli mobil baru, naik rumah baru hingga kematian. Bahkan berjabat tangan pun disebut mosalawati.
Banyaknya praktek kehidupan yang diiringi sholawat pada kehidupan orang Gorontalo karena para leluhur Gorontalo sangat paham, bahwa untuk bisa meraih “tabi-tabi to Eeya”, maka kuncinya adalah salawat kepada Nabi Muhammad SAAW.
Olehnya, Gorontalo dinisbatkan sebagai Serambi Madinah sebenarnya adalah doa, ikhtiar dan niat luhur, hingga menjadi sebuah “proses” yang berlangsung sepanjang waktu.