Gorontalo, mimoza.tv – Membuka lembaran baru di bulan Februari 2023, Badan Pusat Statisti (BPS) membeber data fenomena ekonomi,nilai tukar petani, ekspor – impor, dan termasuk juga kondisi kemiskinan di Gorontalo.
Kepala BPS Provinsi Gorontalo, Mukhamad Mukhanif dalam siaran persnya di Ruang Vicon BPS mengungkapkan, persentase penduduk miskin di Provinsi Gorontalo pada September 2022 sebesar 15,51 persen. Angka ini naik 0,09 persen poin terhadap Maret 2022, dan naik 0,10 persen poin terhadap September 2021.
Dalam satu tahun itu kata dia, BPS mensurvei kemiskinan itu sebanyak dua kali, yang diperoleh dari Survei Ekonomi nasional yakni pada bulan Maret dan September.
“Jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebesar 187,35 ribu orang, naik sebesar 1,9 ribu orang terhadap Maret 2022, dan naik sebanyak 2,75 ribu orang terhadap September 2021,” ucap Mukhanif, Rabu (1/2/2022).
Ia mengatakan, untuk persentase penduduk miskin di perkotaan pada bulan September 2022 tercatat sebesar 4,49 persen. Angka ini naik 0,52 persen poin dari kondisi Maret 2022 yang tercatat sebesar 3,97 persen. Sementara persentase penduduk miskin di perdesaan pada September 2022 tercatat sebesar 24,52 persen, naik 0,10 persen poin jika dibandingkan kondisi Maret 2022 yang tercatat sebesar 24,42 persen.
“Garis Kemiskinan Provinsi Gorontalo pada September 2022 tercatat sebesar Rp434.961,-/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp333.794,- (76,74 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp101.167,- (23,26 persen),” bebernya.
Kepada awak media dan instansi terkait dirinya juga menjelaskan bahwa survei kemiskinan yang digunakan oleh BPS selama ini menggunakan pendekatan kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya. Hal ini kata dia meluruskan diskusi di luar yang sering menganggap bahwa kemiskinan itu dilihat dari rumahnya jelek dan sebagainya.
“Kami tidak melihat fisik seperti itu, melainkan kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya. Kemampuan itu sebesar garis kemiskinan yang merupakan batasan untuk kebutuhan dasar, yang mana itu konversi dari makanan setara 2100 kilo kalori perhari,” imbunya.
Jadi kata dia, per orang itu harus bisa memenuhi 2100 kilo kalori dengan dikalikan sebulan, dikalikan jumlah jiwa dalam satu rumah kalau mau menghitung satu rumah.
Sementara untuk yang bukan makanan itu kata dia, adalah nilai minimum pengeluaran untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok bukan makanan lainnya yang tentunya dari survei juga.
Ia mencontohkan, jika biaya kesehatan naik maka ada peluang juga naiknya garis kemiskinan pada bukan makanan. Demikian juga bila ada harga-harga naik pada makanan, ini juga berpeluang juga garis kemiskinannya untuk makanan akan naik.
“Jadi sangat dipengaruhi oleh naik turunnya harga baik makanan dan non makanan untuk garis kemiskinannya,” tutur Mukhanif.
Satu hal lagi dalam mensurvey kemiskinan itu kata Mukhanif, adalah kemampuan seseorang dalam mengkonsumsi. Pihaknya tidak menggunakan pendapatan, tapi kemampuan pengeluaran rata-rata perkapita per bulan.
“Jika pengeluaran perkapita perbulannya di bawah garis kemiskinan. maka dia miskin. Jadi ini memang penghitungan yang panjang dan lama. Bahkan kalau kami wawancara di lapangan, satu rumah itu bisa sampai 3 jam,” ujarnya.
Lanjut Mukhanif, survei yang dilakukan itu bukan hanya untuk kemiskinan, tetapi untuk sosial ekonomi. Mulai dari kondisi rumah dan sebagainya. Tetapi untuk kemiskinannya hanya mengambil untuk konsumsinya saja.
Sementara pertanyaan-pertanyaan lain di gunakan untuk menghitung indikator yang lain misalnya angka partisipasi murni, angka partisipasi kasar, untuk morbilitas atau angka kesakitan, rumah layak huni dan sebagainya.
“Ini Susenas. Survei yang sangat tebal, yang digunakan untuk berbagai macam indikator. Di lapangan juga kami tidak door to door kemudian menanyakan ini miskin atau tidak, rumahnya jelek atau miskin. Tidak seperti itu. Tetapi wawancaranya alami. Menanyakan konsumsi, melihat kondisi karakteristik sosial dan seterusnya untuk berbagai macam kepentingan,” tutup Mukhanif.