Oleh : Fery Utiarahman
Mimoza.tv – Petugas Pemasyarakatan adalah istilah yang baru bagi sebagian besar masyarakat, karena pada dasarnya masyarakat lebih familiar dengan sebutan “Sipir” atau “Pegawai Penjara”. Namun sebenarnya istilah sipir tersebut berlaku pada saat masih berlakunya Sistem Kepenjaraan di Indonesia.
Sejak tahun 1964 sistem kepenjaraan berubah menjadi sistem Pemasyarakatan yang diprakarsai oleh Dr. Saharjo, SH dan mulailah pada saat itu istilah Sipir bagi petugas Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara berubah menjadi Petugas Pemasyarakatan.
Petugas Pemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak Hukum yang diberi wewenang berdasarkan Undang-Undang untuk melaksanakan tugas Pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana (UU No. 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan), sehingganya mereka bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan untuk :
-Memberikan jaminan pelindungan terhadap hak Tahanan dan Anak.
-Meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian Warga Binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik, taat hukum, bertanggung jawab, dan dapat aktif berperan dalam pembangunan.
-Memberikan pelindungan kepada masyarakat dari pengulangan tindak pidana.
Selain bertugas sebagai pengamanan dalam Lapas/Rutan, petugas pemasyarakatan juga bertugas melayani, membina serta merawat Narapidana yang terdiri dari berbagai macam kasus tindak pidana yang dilakukan serta berbagai macam karakter yang disatukan dalam satu gedung yakni Lembaga pemasyarakatan.
Saat ini jumlah penghuni Lapas/Rutan sudah tidak sebanding lagi dengan jumlah petugas pemasyarakatan. Saat ini kurang lebih 275.512 orang Narapidana di Indonesia (Word Prison Brief), jumlah petugas Pemasyarakatan hanya kurang lebih empat ribuan petugas, rasio yang tidak sebanding dan tidak masuk akal untuk sebuah logika berfikir normal.
Namun sampai hari ini petugas Pemasyarakatan tetap melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Memberikan pembinaan, pelayanan serta memberikan perawatan terhadap Narapidana.
Dalam beberapa minggu terakhir ini viral pemberitaan di media sosial maupun online tentang seorang Mantan Narapidana yang memberikan “stigma” tidak baik terhadap petugas pemasyarakatan, sebuah pernyataan yang tidak seharusnya diucapkan karena sudah merupakan sebuah bentuk penghinaan secara nyata bagi petugas pemasyarakatan itu sendiri.
Petugas Pemasyakatan seharusnya mendapatkan apresiasi dari masyarakat berkat pembinaan yang dilakukan didalam Lapas melahirkan Narapidana yang kreatif, bersertifikasi keahlian, kelak saat mereka selesai menjalani masa pidana dapat melanjutkan kehidupan normalnya sebagai manusia yang “tidak dianggap manusia oleh sebagian manusia” sekaligus dapat terterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat luas mungkin tidak menyadari bahwa begitu berat tugas dari petugas pemasyarakatan itu sendiri, dimana dengan kondisi jumlah petugas yang tidak seimbang dengan jumlah Narapidana, bangunan Lapas yang sebagian besar belum memenuhi standar akibat masih banyaknya bangunan Lapas peninggalan Belanda ditambah dengan sarana keamanan yang masih jauh dari kata sempurna.
Namun ketidaksempurnaan itu bukan menjadi suatu kendala untuk tetap bertekad dengan niat tulus ikhlas memberikan pembinaan baik pembinaan kemandirian berupa pelatihan kerja melalui bengkel kerja, berkebun maupun pembinaan kepribadian melalui pemberantasan buta aksara maupun buta huruf arab, serta dalam pelaksanaan ibadah baik yang beraga Islam, Kristen, Hindu maupun Budha.
Hasil dari pembinaan itu dapat dirasakan oleh Narapidana itu sendiri dimana saat mereka masuk Lapas tidak mempunyai keahlian serta buta aksara maupun huruf arab, namun setelah mereka selesai menjalani masa pidana, bekal tersebut dapat mereka aplikasikan dilapangan nantinya. Pembinaan dalam Lapas setiap saat dilaksanakan meski dalam keterbatasan baik sarana maupun prasarana.
Selain itu, penting untuk mencatat bahwa banyak Petugas Pemasyarakatan bekerja di lingkungan yang sering kali terlupakan atau diabaikan oleh masyarakat. Mereka harus bekerja di fasilitas yang sering kali kelebihan kapasitas atau terlalu sedikit diakses oleh keluarga dan teman Narapidana. Oleh karena itu, kita perlu memberikan pengakuan dan dukungan yang layak bagi Petugas Pemasyarakatan, dan memastikan bahwa mereka diakui sebagai bagian penting dari sistem Peradilan Pidana.
Olehnya terlalu naif apabila seorang mantan Narapidana memberikan “stigma” yang tidak baik bagi petugas Pemasyarakatan tanpa melihat apa yang sudah mereka lakukan untuk Pemasyarakatan itu sendiri, mereka bekerja dengan tulus ikhlas serta untuk membina para pelanggar hukum yang “tidak terterima” oleh masyarakat karena stigma negatif terhadap mereka, olehnya petugas pemasyarakatan di “manusiakan kembali agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahannya, tidak mengulangi perbuatannya dan kembali berbaur bersama masyarakat serta terterima di masyarakat saat selesai menjalani masa pidananya”.
Petugas pemasyarakatan menyadari sepenuhnya bahwa dalam melaksanakan sebuah pekerjaan yang menjadi amanah dari Allah SWT, masih jauh dari kata sempurna, karena mereka bertugas terkadang tidak sejalan dengan disiplin keilmuan yang mereka dapatkan, mereka dipaksa menjadi seorang Psikolog tanpa belajar ilmu Psikologi, kadang menjadi Ustadz meski bukan alumni pondok pesantren, bahkan menjadi seorang guru tapi tanpa ijazah keguruan, olehnya bantulah petugas pemasyarakatan untuk membenahi ketidak sempurnaan itu menjadi sempurna dalam membina Narapidana.
Meski petugas Pemasyarakatan adalah “pembina yang selalu dihina, dibenci bahkan dicaci makipun”, tapi mereka bekerja tidak berharap pujian. Akan tetapi mereka bekerja dengan hati dan mengabdi pada negeri, biarlah mereka “Tidak dikenal oleh penduduk bumi, tapi dikenali oleh penghuni langit”.