Gorontalo, mimoza.tv – Wacana revisi Perda Lembaga Adat Gorontalo mulai disuarakan oleh beberapa pihak menyusul polemik kepungurusan ganda Lembaga Adat Gorontalo seperti yang disuarakan oleh Aleg Deprov Gorontalo Adhan Dambea sebagaimana yang dirilis salah satu media pada Rabu (23/8/2023) lalu.
Seperti juga Adham Dambea, pemerhati demokrasi Umar Karim memiliki pandangan yang sama. Jika wacana revisi Perda oleh Adhan Dambea karena adanya pemasalahan kepungurusan ganda Lembaga Adat, Umar Karim atau yang sering disapa UK lebih dilartabelakangi oleh tidak efektifnya Lembaga Adat dalam ikut menyelesaikan dugaan perselingkuhan Ivana Abruhman dengan salah satu oknum pejabat di Kabupaten Gorontalo.
UK mengatakan, Perda Prov Gorontalo No.2 Tahun 2016 tentang Penyelengaraan Lembaga Adat tidak Islam. Menurutnya, dalam Perda tersebut tak satu pun terdapat kata ‘Islam’ Dengan demikian Perda itu tak terbantahkan tidak Islami.
“Perda Penyelenggaraan Lembaga Adat adalah sebagai bentuk pengingkaran Pemerintah Prov dan Deprov sebagai pihak-pihak yang membuat Perda terhadap nilai-nilai luhur masyarakat Gorontalo yang memegang teguh nilai-nilai islami dalam kehidupan keseharianya,” ujar UK dalam keterangannya, Ahad (27/8/2023).
Tak hanya itu, menurut UK dalam Perda falsafah adat Gorontalo Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah sama sekali tidak dicantumkan sebagai prinsip utama bagi Lembaga Adat dalam menjalankan tugas fungsinya.
Perda adalah peraturan perundang-undangan yang memuat peraturan yang limitatif dan bersifat memaksa.
“Sehingga jika tidak terdapat ketentuan yang mengatur prinsip Lembaga Adat berdasarkan falsafah ‘Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah’, maka sama halnya memaksa Lembaga Adat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak tunduk pada kaidah-kaidah Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah sebagaiman falsafah adat Gorontalo,” jelasnya.
Lanjut dia, meskipun dalam Perda telah ditegaskan Lembaga Adat wajib menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila seperti yang disebut pada Pasal 7 ayat (2) huruf a akan tetapi menurut UK berbeda nilai-nilai Pancasila dengan konsepsi Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah.
Nilai-nilai Pancasila lebih universal atau lintas agama sedangkan Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah lebih spesifik pada doktrin Islam.
“Jadi Perda tentang Lembaga adat sekuler”, tegas UK.
Demikian pula soal adanya ketentuan dalam Perda yang memberikan kewenangan Gubernur melakukan pengawasan penyelenggaraan Lembaga Adat, menurut UK ketentuan itu mendudukan Lembaga Adat sebagai sub ordinat dari Gubernur. Lembaga Adat akan kehilangan independensinya dan cenderung dependen terhadap pemerintah sehingga tidak lagi sebagai institusi mandiri yang tumbuh dari lokal wisdom sehingga dapat ditarik kemana-mana demi kepentingan kekuasaan.
“Perda telah mempreteli Lembaga Adat sehingga cenderung bercorak sebagai alat kekuasaan yang kehilangan karakter lokal wisdom,” ungkap sosok yang doyan mengkritisi kebijakan pemerintah.
Bahkan UK pun ikut menyoroti tak komprensifnya pengaturan dalam Perda. Dalam ketentuan Umum disebutkan Daerah adalah Daerah Provinsi Gorontalo, sehingga apa saja kata ‘Daerah’ dalam Pasal dan ayat dalam Batang Tubuh harus dimaknai Daerah Provinsi Gorontalo. Sedangkan faktanya dalam Pasal dan ayat hanya menyebut Daerah dan Desa dan tak satu pun menyebut Kabupaten atau Kota.
Dengan demikian kata dia, Perda ini hanya mengatur Lembaga Adat Prov dan Desa. Apa dasarnya tidak mengatur penyelenggaraan adat di Kabupaten dan Kota. Sedangkan penyelenggaraan adat di Desa ikut di atur.
“Jika Perda ini dimaksudkan hanya mengatur Lembaga Adat Provinsi sebagai ruang lingkup kewenangan Perda Provinsi kenapa menyebut Desa? Sedangkan Desa sesuai UU No.6 Tahun 2014 adalah otonom bukan bagian dari Pemerintahan Provinsi,” tegasnya.
Lebih aneh lagi, meskipun dalam Batang Tubuh tidak mengatur Kabupaten dan Kota akan tetapi dalam Penjelasan Umum terdapat kata ‘Kabupaten’ tanpa ada kata ‘Kota’ sehingga lagi-lagi dapat saja dimaknai Perda ini hanya mengatur penyelenggaraan adat di Provinsi, Kabupaten dan Desa tanpa Kota.
“Perda ini absurd, lucu tak berkualitas dan cermin yang membuatnya”, sindir UK yang juga penggiat Forum Demokrasi Gorontalo ini.
Selain itu, UK ikut menyesalkan lemahnya pengawasan penegakan Perda oleh Deprov karena sudah 6 tahun Perda belum memiliki peraturan pelaksananya. Dalam ketentuan Penutup Perda disebutkan peraturan pelaksanaan Perda harus sudah ditetapkan paling lama satu tahun terhitung sejak Perda diundangkan. Perda Penyelenggaran Adat diundangkan tahun 2016 saat ini tahun 2023 akan tetapi sampai saat ini belum dibentuk Pergub sebagai peraturan pelaksanaan dari Perda sehingga relatif 6 tahun telah terjadi pelanggaran Perda.
“Untung saja ada Pj Gubernur yang baru yang menemukan bahwa Perda belum memiliki Pergub sebagai peraturan pelaksanaan, jika tidak, publik tak sampai tahu ada Perda absurd seperti itu. Apa kerjaan Deprov jika pengawasan Perda yang simpel seperti itu tak bisa dilaksanakan?, jangan-jangan hanya sibuk dengan bagi-bagi Pokir”, kelakar UK.
Sambung dia, syukur saja Perda ini dianggap belum berlaku mengikat karena belum ada peraturan pelaksananya sehingga harus diubah sebelum menyeret Lembaga Adat menjadi sekuler,” pungkas sosok yang bakal maju jadi Caleg DPRD Provinsi Gorontalo ini.
Penulis : Lukman.