Oleh : Budhy Nurganto (Jurnalis/Pengajar Lepas)
Setiap bertemu dengan Bang Funco Tanipu dan Bang Verrianto Madjowa, biasanya saya hanya berdiskusi ringan seputaran media, pemberdayaan masyarakat, kampus dan penelitian. Kami bertiga jarang sekali terlibat dalam sebuah obrolan serius yang membahas isu-isu politik nasional, apalagi terkait konstelasi pemilu dan pemilihan Presiden 2024.
Namun pada malam minggu lalu, meski sesekali ngobrol soal isu lingkungan, entah kenapa, kami bertiga kemudian memilih untuk ngobrol terkait suksesi politik 2024, terutama tentang bagaimana relasi politik dengan harapan rakyat. Apakah proses relasi politik berjalan sesuai dengan harapan rakyat dan memberikan perubahan perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara, atau justru sebaliknya.
Wacana diskusi ini muncul setelah konstelasi politik nasional mengalami pasang surut, koalisi calon presiden tak menentu, manuver politik menjelang pemilu 2024 makin tajam dan selalu berubah-ubah. Publik terlihat seperti disuguhi tontonan yang tak menyehatkan dan hanya sebagai penonton yang kehadirannya dibutuhkan ketika berada di bilik suara. Rakyat selalu menjadi objek bagi para politikus. Didekati saat mereka membutuhkan dukungan demi kekuasaan.
Diskusi yang ditemani dua gelas es teh, dua piring kentang goreng, dan sebungkus rokok, berjalan hingga tengah malam. Obrolan awalnya direncanakan hanya tiga jam, namun ujungnya ternyata sampai nyaris 4 jam dan tak terasa mengalir lama. Obrolan ini berhenti setelah ditegur seorang pelayan cafe, jika tempatnya dia bekerja sudah ditutup. Kami pun bubar.
Dalam pembicaraan itu, kami melihat, bila praktek politik kita saat ini sepertinya belum sepenuhnya bekerja untuk kepentingan rakyat. Setiap kandidat -baik presiden, Gubernur, Bupati dan DPR maupun DPRD- yang muncul, lebih banyak terlihat bekerja mewakili kepentingan partai ketimbang kepentingan publik. Para politikus lebih takut pada ketua umum partai daripada tidak terpilih pada momen politik. Mereka terikat oleh ikatan yang lebih dalam dengan kepentingan partai politik.
Hampir tak ada partai atau kandidat yang menawarkan gagasan untuk kemaslahatan orang banyak. Bila ada gagasan yang muncul pun, itu cuma ada dalam debat kandidat, namun semuanya terlihat seperti atraksi sirkus ketimbang pertukaran gagasan.
Politik kita sepertinya kesulitan menghilangkan stigma atraksi para politisi yang gemar dengan gaya puja-puji, caci-maki, hingga cipika-cipiki. Mereka terlihat berbeda tetapi sesungguhnya hanya pura-pura semata. Kepentingan sesaatlah yang mengikat mereka, dan narasi kerakyatan adalah alat propagandanya.
Secara konseptual, politik yang melupakan publik, adalah kegagalan, dan tak bedanya dengan membiarkan tontonan atraksi politik tak mencerdaskan tumbuh subur. Sama halnya memberikan ruang pada ajang transaksi dagang yang murah dan memualkan perut. Akhirnya banyak diantara kita yang menyerah dan bersikap apatis pada momen politik, karena para politisi kita tampaknya menolak bertindak demi kepentingan terbaik publik. Jika diminta jujur, mereka tidak bertindak demi kepentingan orang-orang yang seharusnya mereka layani, yaitu publik, dan itu adalah sesuatu yang buruk bagi demokrasi.
Dalam politik, harapan publik merupakan sebuah mimpi. Kebanyakan dari kita percaya politik masih dianggap merupakan saluran paling tepat untuk menaruh harapan perubahan hidup yang lebih baik. Pada politik, harapan perubahan bisa terjadi dengan lebih cepat. Minimal dengan politik, harapan rakyat seperti kesejahteraan, perlindungan kesehatan, keamanan, pendidikan berkualitas dan kebebasan berekspresi dapat terealisasi. Politik dianggap pintu perubahan.
Dengan kondisi seperti itu, maka diperlukan langkah mendorong percakapan politik yang lebih substansial-sesuatu yang jauh lebih mencerdaskan ketimbang membahas edormen kepentingan politik para calon. Berupaya untuk menghindari apa yang oleh ilmuwan politik Paul Frymer disebut sebagai “electoral capture” (pencaplokan elektoral). Gerakan politik untuk rakyat sebaiknya terus digaungkan, dan gerakan diarahkan pada muara pemerintahan bersama (co-governance) di mana para pemimpin terpilih bukanlah tujuan partai politik, melainkan kendaraan bagi rakyat menuju kesejahteraan. Jalan mencapai perubahan hidup yang lebih baik. Politik harus dikuatkan sebagai kunci harapan rakyat.
Secara konseptual menaruh harapan pada politik dapat diartikan sebagai sebuah gagasan politik yang memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan (welfare) untuk rakyat. Semangatnya dititikberatkan pada kesejahteraan rakyat, seperti yang dimaksud Jonathan Sacks-cendikiawan Inggris- adalah meliputi kesejahteraan di bidang ekonomi, kebebasan, dan demokrasi dalam politik, penegakan hukum, serta jaminan atas hak asasi manusia.
Praktek politik dengan mengedepankan harapan rakyat seperti itu biasanya menolak narasi pesimisme dan tidak mentoleransi narasi politik yang dibangun atas dasar utopisme atau janji-janji yang membuai, namun sukar direalisasi. Dalam logika politik, praktek politik seperti ini dibangun diatas pondasi visi-misi yang jelas, terukur dan bisa dieksekusi (executable), serta cenderung menghindari keburukan politik yang membuat sebagian orang putus asa.
Keberpihakan pada rakyat menjadi hal mutlak yang harus dipegang para politisi, minimal berada pada titik tertinggi dalam membuat rakyat senang dengan pilihan politik mereka. Meski kebanyakan orang mungkin memiliki selera politik yang tidak seragam, namun pada satu titik sesungguhnya memiliki harapan yang sama yaitu perubahan hidup lebih baik. Banyak orang mungkin condong ke satu partai, namun tak sedikit dari mereka yang percaya calon politik dari berbagai partai dapat mewujudkan harapan perubahan. Menempatkan aspek kualitas dan kompetensi calon sebagai faktor mewujudkan harapan itu.
Hal ini menunjukkan adanya rasa lapar yang mendalam akan pemimpin-pemimpin politik yang benar-benar banyak bekerja untuk kepentingan rakyat dan memandang dunia dalam konteks moral. Menempatkan diri pada kepentingan rakyat dan mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan dan partai politik.
Rakyat memberikan mandat pada pemimpin politik di pemilu dengan harapan dapat memperjuangkan untuk perubahan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Rakyat akan tetap berharap semua mimpi perubahan tak cuma sekedar menjadi harapan, meski keberuntungan itu tetap ada pada politik. (***)