DALAM proses politik dan pemerintahan yang semakin dinamis, praktik korupsi semakin meluas dan merambat masuk ke dalam pelaksanaan proses politik dan pemerintahan, salah satunya dalam bentuk konflik kepentingan di dalam suatu kebijakan publik. Kebijakan publik yang seharusnya menjadi cara pemerintah untuk menyelesaikan masalah justru menjadi sarana formalisasi dan legalisasi kepentingan segelintir pihak.
Korupsi kebijakan publik dapat dipahami sebagai salah satu jenis korupsi politik. Meminjam analisis korupsi politik yang dijelaskan Adelina (2019), yaitu korupsi politik terjadi ketika penentu keputusan politik memanfaatkan kekuasaannya untuk memberikan keuntungan bagi kekuasaan, status, ataupun kekayaan yang dimiliki.
Salah satu bukti empirik korupsi kebijakan publik adalah konflik kepentingan yang terdapat dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Desta (2006) dalam Zainal Arifin Mochtar (2016) menyebutkan bahwa terdapat tiga definisi kategori korupsi, yaitu korupsi yang berpusat pada jabatan publik, korupsi yang berpusat pada pasar, dan korupsi yang berpusat pada kepentingan publik.
Korupsi kebijakan publik termasuk ke dalam kategori korupsi yang berpusat pada kepentingan publik. Kategori korupsi ini dapat dilihat dari pola hubungan patron client dimana seorang pejabat publik mengambil atau memutuskan suatu tindakan yang akan menjadi sebuah kebijakan publik berdasarkan kepentingan segelintir pihak yang telah memberikan keuntungan bagi pejabat publik tersebut. Tindakan ini mengganggu kepentingan publik yang harusnya menjadi landasan kebijakan publik.
Rose-Ackerman (2010) menyebutkan bahwa korupsi kebijakan dapat dilacak melalui kedudukan kelembagaan atau organisasi dari pejabat publik dan pihak yang terlibat dalam pola hubungan patron client. Korupsi kebijakan publik ini dapat dilihat tidak terbatas hanya kepada penyalahgunaan sumber daya, melainkan juga bagaimana pengaruhnya ke dalam proses kebijakan tersebut dibentuk.
Omnibus Law Cipta Kerja
Dalam kasus Omnibus Law Cipta Kerja, terdapat pola hubungan patron client yang turut mempengaruhi prosedur dan substansi dari produk legislasi tersebut. Hubungan patron client ini dapat dilacak jauh hingga pada proses Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019. Dalam Pilpres 2019, kedua kubu, yaitu pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin serta pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno memiliki kesamaan yang identik, yaitu keduanya mendapatkan suntikan dana dan dukungan dari oligarki perusahaan tambang di Indonesia.
Dengan mendasarkan kepada laporan yang dirilis oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM, 2019). Kubu Jokowi-Amin terdapat deretan nama seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Surya Paloh, hingga Aburizal Bakrie. Sementara itu, di kubu Prabowo-Sandi terdapat nama-nama seperti Tommy Soeharto, Hasyim Djojohadikusumo, hingga Ferry Mursyidan Baldan. Selain itu aktor-aktor di balik perumusan Omnibus Law Cipta Kerja seperti Airlangga Hartarto, Puan Maharani, hingga Rosan Roeslani adalah nama-nama yang memiliki usaha di sektor energi, sumber daya alam, dan mineral (JATAM, 2020).
Jika mencermati prosedur pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja, maka prosesnya amat jauh dari good legislation making. Nihilnya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), khususnya dari kelompok pekerja menjadi alasan utama dari penolakan masif terhadap kebijakan ini. Namun, praktik korupsi kebijakan yang menguntungkan pihak pengusaha akan semakin terlihat jika menilik kepada substansi dari Omnibus Law Cipta Kerja. Terdapat setidaknya 3 sektor yang teridentifikasi sebagai praktik korupsi kebijakan publik.
Pertama, yaitu sektor ekonomi. Dalam halaman 221 pasal 128A ayat 1 Omnibus Law Cipta Kerja disebutkan bahwa: “Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).”
Pengertian royalti dalam konteks ini adalah iuran yang wajib dibayarkan perusahaan kepada negara setelah melakukan kegiatan pengerukan sumber daya mineral dan batubara. Royalti termasuk ke dalam pemasukan keuangan negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kebijakan ini berkaitan dengan program pemerintah, yaitu hilirisasi dan peningkatan nilai tambah batubara. Dengan adanya kebijakan ini jelas menguntungkan bagi pengusaha tambang karena meminimalisir pengeluaran dan semakin bebas untuk mengeruk sumber daya alam di Indonesia.
Kedua, dari sektor pengenaan sanksi pidana kepada pengusaha. Sanksi pidana terhadap pengusaha dihilangkan sementara sanksi pidana terhadap masyarakat yang dianggap menghalangi kegiatan usaha pertambangan dipertegas. Dalam pasal 162 halaman 222 Omnibus Law Cipta Kerja yang berbunyi: “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat 21 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Ketiga, dari sektor lingkungan hidup. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan peraturan turunan dari Omnibus Law Cipta Kerja diatur bahwa limbah batubara dikeluarkan dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Kebijakan ini menekankan bahwa limbah flying ash dan bottom ash (FABA) yang merupakan hasil limbah dari proses pembakaran batubara tidak lagi termasuk ke dalam kategori B3.
Fakta ini kemudian dipertegas oleh riset yang dilakukan oleh Project Multatuli menelusuri profil koneksi bisnis dan politik oligarki batubara di bawah pemerintahan Joko Widodo. Rencana membatasi produksi batubara nasional menjadi maksimum 400 juta ton mulai 2019 batal begitu saja. Larangan ekspor batubara sepanjang Januari 2022 pun dicabut dalam rentang dua minggu setelah diumumkan (Singgih, 2022).
Ketiga sektor korupsi kebijakan di dalam pengaturan Omnibus Law Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya diperparah dengan prakondisi pembentukannya yang kental dengan conflict of interest. Ketua Satuan Tugas Omnibus Law Cipta Kerja adalah juga Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN), yaitu Rosan Roeslani yang kini menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Fakta ini jelas berseberangan dengan kondisi ideal dari seimbangnya peran stakeholder kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja, yaitu antara pengusaha dan pekerja yang diwakili oleh serikat buruh.
Selain itu, kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh negara, yaitu membentuk peraturan perundang-undangan justru dijalankan oleh pihak swasta yang memiliki kepentingan di dalam proses dan substansi dari peraturan yang sedang akan dibentuk tersebut. Hal ini jelas mengarah kepada conflict of interest yang tidak terelakkan.
Berkembangnya proses politik dan pemerintahan di masa kini juga diikuti dengan transformasi korupsi yang praktiknya semakin laten. Korupsi kebijakan publik yang menjadi bagian dari korupsi politik adalah salah satu praktik korupsi wajib diwaspadai dengan mendorong proses politik dan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Penulis,
Georgius Benny/Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran