Gorontalo, mimoza.tv – Lima warga Nahdatul Ulama (NU) saat ini tengah menjadi sorotan dari berbagai kelangan masyarakat. Hal ini terkait dengan ke lima-nya bertemu dengan Presiden Israel, Isaac Herzocg belum lama ini.
Namun, selain lima warga NU itu, salah satu yang ikut dalam pertemuan dengan orang momor satu di Israel itu adalah Rabbi Yakoov Baruch, seorang rabi, pemimpin Sinagoga Sha’ar Hashamayim (Ibrani : Gerbang Surga) yang berlokasi di Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Dari berbagai informasi yang dihimpun, sosok Yaakov Baruch adalah seorang pria yang lahir dari keluarga yang berbeda agama. Ayahnya yang bernama Toar Palilingan merupakan orang Minahasa yang menganut agama Kristen. Sementara almarhumah ibunya yang bernama Cili Damopolii, merupakan seoerang perempuan berasal dari Bolaang Mongondow yang beragama Islam.
Meski hidup dengan keluarga yang berbeda keyakinan, mereka sekeluarga hidup harmonis dengan tetap menjunjung nilai-nilai toleransi.
Pria yang tercatat sebagai dosen Hukum Internasional dan Hukum Humaniter di Universitas Sam Ratulangi Manado ini, memutuskan untuk menganut agama Yahudi saat masih duduk di bangku SMP> Hal itu dilakukannya setelah mengetahui dari sang nenek dari keluarga ibunya, bahwa ia memiliki keturunan yahudi. Kakek buyut dari Yaakov Baruch sendiri adalah seorang imigran Yahudi Belanda yang bernama Elias Van Beugen. Dan ketika ia memutuskan untuk menjadi seorang yang beragama Yahudi, tidak ada pertentangan dari kedua orang tuanya.
Selain sebagai dosen, sosok yang merupakan pendiri Indonesia Holocaust Museum ini juga merupakan seorang fotografer di Manado.
Sebelumnya, Rabbi Yaakov bersama lima warga NU alias Nahdliyin melakukan pertemuan dengan Presiden Israel, Isaac Herzocg, hingga mendapat sorotan dan kecaman dari berbagai pihak, termasuk dari para elite PBNU.
Pengamat Timur Tengah, Faisal Assegaf, dalam wawancara di salah satu stasiun tv mengatakan, kunjungan dan pertemuan lima warga NU dengan Presiden Israel itu adalah suatu hal yang tidak beretika. Apa lagi pertemuan tersebut di tengah situasi aksi brutal dan genosida tentara zionis Israel terhadap warga di Gaza, Palestina.
“Pertemuan ini tidak beretika sebagai sesama muslim, ketika muslim di Gaza tengah di bantai. Kemudian tidak beretika juga sebagai sesama manusia,” kata Faisal.
Penulis : Lukman.