Oleh : Dr. Funco Tanipu, M.A (Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo)
Dinamika politik Gorontalo, khususnya untuk kontestasi Pemilihan Gubernur sangat menarik dan menantang.
Secara formal, partai-partai politik sudah melabuhkan dukungannya secara administratif ke masing-masing pasangan Calon. Pertanyaannya, apakah pemilih partai-partai tersebut akan ikut bersama elit partai-partai tersebut melabuhkan dukungannya? Ini yang menarik dalam perhelatan Pilgub kali ini.
Seperti yang diketahui bersama, PDI P melabuhkan dukungannya pada Hamzah Isa dan Abdurrahman Bahmid, sedangkan kita tahu bersama Kris Wartabone, sebelumnya adalah Ketua PDI P, malah berpasangan dengan Nelson Pomalingo. Demikian pula Abdurrahman Bahmid yang basis pemilihnya adalah PKS, namun PKS sendiri secara “administratif” mendukung Tony Uloli – Marten Taha. Apakah pemilih PDI P akan total ke Hamzah Isa? Dan juga apakah pemilih PDI P “berkenan” memilih Abdurrahman Bahmid, yang corak ideologisnya berlainan?
Di sisi lain, apakah pemilih Nasdem akan solid memilih Tony Uloli dan Marten Taha yang notabene kader Golkar? Dan apakah pemilih PKS yang terkenal ideologis akan memilih kader Golkar dibanding kader tulen (Abdurrahman Bahmid)?
Termasuk, apakah kader PKB yang beririsan dengan NU akan “rela” memilih Marten Taha yang notabene adalah warga Muhammadiyah?
Yang menarik adalah Golkar, kali ini ada tiga kader Golkae yang ikut berkompetisi ; Tony Uloli, Marten Taha, Idah Syaidah. Tony – Marten maju tanpa dukungan Golkar secara kelembagaan, Idah resmi diusung Golkar dengan Gusnar. Ke arah manakah pemilih Golkar berlabuh? Siapa yang dapat mengkonsolidasi hal tersebut?
Secara umum, jika dilihat dari berbagai riset, id party atau identitas partai cenderung tidak stabil. Temuan LSI menyebutkan jika 85 % pemilih partai cenderung mudah beralih dukungan. Jika menggunakan indikator ini, maka potensi swing voter pada Pilgub Gorontalo akan sangat tinggi. Pemilih partai pada Pemilu 2024 barusan akan bisa berbeda dengan elit-elit partai yang melabuhkan dukungannya pada kandidat tertentu.
Sehingga tantangan yang akan dihadapi oleh kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur yakni (1). Volatilitas partai dari setiap Pemilu di Gorontalo cukup dinamis, kadang tinggi, kadang rendah. Itu pada pemilu, lebih dinamis lagi saat Pilkada. Dukungan partai cenderung tidak linier dengan dukungan basis pemilihnya. (2). Loyalitas pemilih partai kepada elit partai pun cenderung tidak stabil. Pada setiap pemilu, dengan id party yang rendah, maka dipastikan pemilih bisa berpindah-pindah dukungan, apalagi Pilkada. (3). Dua argumen diatas menunjukkan bahwa pembelahan (ketidaksolidan pemilih partai) pada partai sangat mungkin terjadi, sehingga klaim-klaim elit partai pada kandidat mesti diverifikasi dan dikalibrasi lagi. Apalagi struktur sosial dan termasuk demografi Gorontalo sangat tinggi, sehingga pembelahan sangat mungkin terjadi.
Atas logika dan fakta tersebut diatas, maka setiap kandidat tidak bisa hanya menyandarkan pada satu skenario, yakni berharap sepenuhnya struktur kepartaian semata untuk skema pemenangan.
Apalagi, misalnya dukungan partai politik pada Pilgub tidak linier dengan dukungan partai tersebut pada Pilbup/Pilwako.
Seperti contoh, Gusnar dan Idah didukung oleh Gerindra, Golkar dan Demokrat, tapi contohnya pada kasus dukungan di Gerindra, Golkar dan Demokrat berbeda-beda dukungan di Pilkada Kabupaten Gorontalo. Golkar mendukung Hendra Hemeto – Warsito, tapi Gerindra dan PKS mendukung Roni Sampir – Adnan Entengo yang notabene Ketua PKS Provinsi (mendukung Tony – Marten). Demikian dukungan partai pada kandidat Pilkada Kab/Kota yang tidak linier dengan dengan dukungan partai di tingkat Provinsi.
Hal ini memang baru terjadi, sebab baru kali ini Pikada serentak baik untuk Provinsi dan Kab/Kota, sehingga pembelahan yang dimaksud diatas semakin nyata. Dan kenyatannya, hal ini akan berimbas pada pembentukan tim sukses atau tim pemenangan secara hirarkis dari Provinsi ke Kabupaten/Kota.
Tentu hal ini masih sangat dinamis, mengingat masih ada waktu untuk melakukan konsolidasi di internal partai politik. Tapi, ini akan menjadi catatan serius bagi setiap partai dalam menjaga dan merawat basis politiknya masing-masing, apakah “maintenance” tersebut berbasis ideologi kepartaian, atau bergantung pada ketokohan elit partai tersebut.
Tadi pagi, selepas subuh, saya bertemu dengan salah seorang warga di salah satu warkop di Kota Gorontalo, saya tanyakan dulu waktu Pemilu 2024 dia memilih partai apa dan caleg siapa, lalu pada Pilgub dan Pilwako nanti dia akan memilih siapa, apakah sesuai dukungan partai dan caleg yang dia pilih atau tidak. Jawabannya sama dengan uraian diatas ; “Ngga Pomilu, pomilu ju. Ngga Pilkada dipo modungohu odeli tati ta pilili to Pemilu”.