Oleh : Lukman Polimengo
Pernahkah Anda mendengar cerita tentang politisi yang hampir tersesat dalam gemerlap kursi parlemen karena terlalu sibuk memandangi cermin kesombongannya? Inilah kisah Eres, Ketua Partai Terong Ijo di Negeri Konoha, yang berusaha meraih puncak politik, hanya untuk hampir terjerumus dalam jurang kesendirian politik.
Dahulu kala, sebelum ia terjun ke arena politik yang bising, Eres hanyalah putra seorang birokrat terhormat. Sepuluh tahun lalu, memutuskan bahwa menjadi politisi adalah panggilan hidupnya, ia pun duduk di kursi empuk sebagai Ketua Partai Terong Ijo. Dan ternyata, seperti kursi empuk lainnya, jabatan itu membuat Eres terbuai oleh bayangan dirinya sendiri.
Lima tahun lalu, Eres berhasil masuk ke DPR sebagai anggota legislatif (Aleg). Bersama lima rekannya, ia menduduki kursi tersebut dengan percaya diri yang melonjak. Namun, tak butuh waktu lama bagi Eres untuk merasakan keasyikan mendominasi ruangan. Ia menjadi Aleg yang dikenal dengan mulutnya yang tak pernah berhenti melontarkan klaim. Klaim ini, klaim itu—jika cerita orang lain sekadar sampai langit, maka cerita Eres akan mencapai langit kesembilan, lengkap dengan pelangi dan bintang gemerlap. Kesombongan pun mulai menjalar, dari cara ia berbicara hingga cara ia berjalan.
Namun, roda politik memang berputar. Ketika pemilu legislatif berikutnya tiba, alam memberi Eres sebuah pelajaran berharga. Suara yang dulu pernah memuliakannya kini menurun drastis. Hampir-hampir ia tidak terpilih, dan yang lebih mengejutkan, hanya tersisa dua kader dari Partai Terong Ijo yang lolos ke legislatif—jauh dari lima orang sebelumnya.
Masalah pun kian rumit ketika tiba waktunya membentuk fraksi. Di negeri Konoha, partai kecil seperti Terong Ijo harus bergabung dengan partai lain jika ingin membentuk fraksi yang layak. Saat itu, Fedok dari Partai Paling Biru mendekati Eres dengan tawaran bergabung dalam fraksi gabungan. Tetapi, bukannya menerima tangan yang terulur, Eres justru menolaknya dengan pongah. Mengapa bergabung dengan partai kecil lainnya jika ia merasa cukup besar sendiri?
Lalu, tibalah hari paripurna, dan Eres mulai panik. Tak ada satu pun partai yang bersedia bergabung dengannya. Ia pun bergegas melobi ke berbagai pihak, berharap ada yang mau menampungnya. Namun, semua telinga tertutup untuk politisi yang sebelumnya tak pernah berhenti bicara tinggi. Di sudut ruangan, Fedok tersenyum sinis, “Kemarin saya ajak, dia angkuh. Sekarang dia pusing sendiri. Inilah akibat kalau terlalu sombong.”
Namun, drama politik di DPR Konoha ini tak berakhir tragis bagi Eres. Di tengah kebingungannya, muncul sosok Weka, seorang politisi senior dari Partai Kunyit Oranye. Weka, yang sudah menjalani enam periode di parlemen, memutuskan untuk memberikan Eres kesempatan. Ia keluar dari fraksi gabungan dan mengajak Eres untuk bergabung dalam fraksi yang baru. Kabar bahwa Eres akan menjadi “fraksi gentayangan” di DPR Konoha pun urung terjadi.
Setelah rapat paripurna, Weka mendekati Eres dengan sebuah nasihat yang sarat akan kebijaksanaan. “Eres,” katanya sambil menepuk pundaknya, “politik itu seperti roda. Kadang kau di atas, kadang di bawah. Jika kau angkuh dan sombong, kau akan jatuh dan dijauhi. Untung aku masih punya hati untuk membantumu. Kalau tidak, kau sudah pasti menjadi Aleg dari fraksi gentayangan.”
Kisah Eres dan Weka menjadi pengingat bahwa dalam politik, lebih penting untuk rendah hati dan merangkul kerjasama daripada sibuk membangun menara ego. Eres hampir terjebak dalam isolasi politik karena kesombongannya, tapi pelajaran ini menyadarkan bahwa kesuksesan dalam politik bukanlah soal siapa yang terkuat, melainkan siapa yang bisa bekerja sama dengan orang lain.
Pesan moralnya sederhana: politik adalah arena yang penuh tikungan tajam. Jika ingin bertahan, jangan hanya mengandalkan ego, melainkan jalin hubungan yang kuat dan saling menghargai. Bagaimanapun juga, politik adalah seni bernegosiasi dan berkolaborasi, bukan sekadar berkuasa.