Oleh: Najamuddin Petta Solong
Guru adalah contoh pendidik di sekolah yang diserahi tanggungjawab mendidik oleh orang tua sedangkan orang tua adalah pendidik yang bertanggungjawab terhadap anaknya. Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas merupakan hari Nasional yang bukan hari libur dan diperingati setiap tanggal 2 Mei menarik untuk merenungkan kembali praktik pendidikan kita selama ini yang cenderung masih memposisikan peserta didik sebagai makhluk yang lemah misalnya memandangnya tidak mampu melakukan sesuatu sehingga terkadang masih diperlakukan dengan cara “disuapi” dan tidak “makan sendiri”. Terlebih pandangan yang mengemuka bahwa peserta didik adalah orang yang membutuhkan pendidikan dan menyerahkan dirinya untuk dididik. Orang yang membutuhkan pendidikan sudah dimulai sejak dalam kandungan melalui pendidikan pranatalis. Orang yang menyediakan dirinya untuk dididik adalah yang tercatat dalam suatu lembaga pendidikan seperti peserta didik, siswa, santri, kelompok belajar dan mahasiswa.
Menarik disimak adalah pandangan Islam tentang peserta didik adalah bukan hanya anak yang belum dewasa tetapi seluruh manusia adalah pebelajar atau peserta didik, sebab: (a) konsep pendidikan Islam adalah pendidikan sepanjang hayat. Sabda Nabi: ”didiklah anakmu dari buaian sampai ke liang lahat”. (b) pendidikan Islam ditujukan untuk seluruh umat manusia karena Rasul diutus untuk itu. Sabda Nabi: ”dan Tidaklah aku (Muhammad) diutus kecuali untuk seluruh manusia”. Walaupun dalam proses berlangsungnya pendidikan, kedudukan pendidik sangat menentukan akan tetapi tidaklah seluruh persoalan pendidikan ditentukan oleh keberadaan pendidik. Karenanya peserta didik harus memegang peranannya sebagai subjek pendidikan karena dialah yang mengelola dan mengembangkan apa-apa yang diajarkan kepadanya.
Dalam konsep mengajar sebagai proses mengatur lingkungan, peserta didik tidak dianggap sebagai organisme yang pasif sebagai penerima informasi, tetapi dipandang sebagai organisme yang aktif, memiliki potensi untuk berkembang, kebutuhan, bakat dan potensi yang berbeda-beda yang harus dipenuhi dan dikembangkan melalui belajar. Guru tidak lagi berperan sebagai sumber belajar, akan tetapi berperan sebagai orang yang membimbing dan memfasilitasi agar peserta didik mau dan mampu belajar. Peserta didik tidak dianggap sebagai obyek yang dapat diatur dan dibatasi oleh kemauan guru, melainkan ditempatkan sebagai subyek yang belajar sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan yang dimilikinya.
Peserta didik adalah yang menjadi pokok persoalan dan sebagai tumpuan perhatian. Di dalam proses pembelajaran, peserta didik sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan dan kemudian ingin menciptakannya secara optimal. Peserta didik menjadi faktor “penentu”, sehingga menuntut dan dapat mempengaruhi segala sesuatu yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya. Tidak tepat lagi bahwa peserta didik berperan sebagai objek. Pandangan yang menganggap peserta didik sebagai objek sebenarnya pendapat yang usang, yang terpengaruh oleh konsep Tabularasa bahwa peserta didik diibaratkan sebagai kertas putih yang dapat ditulisi sekehendak hati oleh para guru. Dalam konsep ini berarti peserta didik hanya pasif seolah-olah barang terserah mau diapakan. Sebaliknya guru akan sangat dominan di dalam proses pembelajaran.
Di sekolah guru dalam proses pembelajarannya harus memerankan peserta didik sebagai subjek ketimbang objek. Belajar efektif ketika peserta didik diperankan sebagai subjek sehingga diharapkan lebih aktif dalam kegiatan belajar. Jika diperankan sebagai objek belajar, kesempatan mengembangkan kemampuan sesuai dengan minat dan bakatnya, bahkan untuk belajar sesuai dengan gayanya sangat terbatas, sebab, segalanya diatur dan ditentukan oleh guru. Peran peserta didik sebagai subjek dalam pendidikan termasuk dalam keluarga sejalan dengan prinsip-prinsip pandangan Islam mengenai manusia: (1) manusia adalah makhluk yang paling mulia (Q.S. al-Isra: 70); (2) manusia dibentuk dalam sebaik-baik kejadian; (3) tugas manusia di dunia sebagai khalifah, (4) manusia dilengkapi dengan akal yang harus digunakan; (5) dalam pertumbuhan dan perkembangannya manusia dipengaruhi dua faktor yakni lingkungan dan pembawaan.
Terkait dengan lingkungan dan pembawaan antara lain ditentukan oleh perilaku yang diteladankan oleh guru kepada peserta didik sebagai bentuk perilaku yang paling utama ditanamkan dan dimiliki peserta didik. Itulah sebabnya al-Ghazali dalam kitab Ayyuhā alwalad banyak memberikan nasihat-nasihat pendidikan yang lebih menekankan pada masalah praktek dalam pembelajarannya atau yang sering disebut dengan keteladanan. “Duhai anakku! Apa yang kalian katakan dan kerjakan disesuaikan dengan syara’, sebab ilmu dan amal kalau tidak sesuai dengan syariat adalah sesat (dhalalah)”, lebih jauh al-Ghazali mensyaratkan orang yang menjadi da’i (penceramah) termasuk pendidik terlebih dahulu mengamalkan apa yang disampaikannya, karena akan menjadi teladan bagi masyarakat secara luas.
Apalagi anak-anak yang menjadi contoh peserta didik adalah makhluk yang senang meniru. Orang tuanya merupakan figur dan idolanya. Kebiasaan baik dari ayah ibunya akan ditiru oleh anak dan dengan cepat mencontohnya. Orang tua yang berprilaku buruk akan ditiru prilakunya oleh anak-anak. Anak-anak pun paling mudah mengikuti kata-kata yang keluar dari mulut orang tua sebagai sosok pendidik. Rasulullah SAW pun terkadang memberikan nasihat secara langsung kepada anak-anak. Penjelasan gambaran dari sikap keteladanan menurut al-Ghazali kemudian dirumuskan oleh Nizar. S, yang dijadikan contoh yaitu pentingnya keteladanan bukan saja bagi pendidik melainkan juga bagi peserta didik sebagai upaya dalam memberikan kepribadian utama yang diharapkan oleh pendidikan Islam yakni terwujudkan kepribadian utama yang ditunjukkan dalam perilaku baik yang diteladankan oleh peserta didik.
Mencermati pandangan di atas jelas bahwa guru mesti memposisikan peserta didik sebagai makhluk yang “kuat” sehingga dalam praktik mendidik cenderung mendidik dengan cara memandirikan atau “makan sendiri” dan memupuk keberanian/kemandirian serta memberikan kebebasan untuk mengolah potensi dirinya melalui pelibatan alat indra sebanyak mungkin misalnya melihat, mendengar, merasakan, melakukan. Pandangan guru terhadap peserta didik yang keliru akan menjadikan peserta didik tumbuh dengan tidak normal karena mengingkari potensi yang dimilikinya atau setidaknya mewujudkan peserta didik yang bertindak munafik ketika berhadapan dengan gurunya, di depan bertindak baik namun di belakang justru membicarakan kejelekan gurunya. Demikian pula pendidikan yang dilakukan di rumah oleh orang tuanya yang cenderung tidak memposisikan anaknya sebagai makhluk yang kuat (berpotensi). Wallahu a’lam.