Gorontalo, mimoza.tv – Hasil riset terbaru yang dirilis Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mengungkapkan mayoritas masyarakat Indonesia masih memiliki literasi hoaks di level sedang. Survei ini menunjukkan bahwa banyak warga yang belum mampu membedakan antara fakta dan informasi palsu, meskipun partisipasi politik mereka relatif tinggi.
Diseminasi hasil survei yang dilakukan Komite Litbang Mafindo pada Rabu (20/11/2024) ini dilakukan secara daring. Riset tersebut melibatkan 2.011 responden dari 20 provinsi, termasuk 10 provinsi dengan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tertinggi dan 10 provinsi dengan IKP terendah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode acak bertahap untuk memastikan hasil yang representatif.
Supervisor Riset Mafindo, Loina Lalolo K. Perangin-angin, menyebutkan bahwa literasi hoaks masyarakat Indonesia perlu diukur secara khusus. “Saat ini, belum ada data literasi hoaks yang memadai di Indonesia. Survei ini menjadi upaya untuk mengisi kekosongan tersebut,” ujarnya.
Fakta Temuan Riset
Kemampuan Membedakan Hoaks Rendah
Sebanyak 60% responden tidak menyadari bahwa klaim soal Warga Negara Asing (WNA) diberi KTP untuk mencoblos adalah hoaks.
Sebanyak 66,1% responden juga tidak mengetahui bahwa isu Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dimobilisasi untuk mendukung pasangan calon tertentu adalah informasi palsu.
Tingkat Literasi Hoaks
Secara keseluruhan, literasi hoaks masyarakat berada di kategori sedang: 68% berada di level menengah, 23,7% di level tinggi, dan 7,6% di level rendah.
Partisipasi Politik
Partisipasi politik daring masyarakat tergolong tinggi, sementara partisipasi politik di ranah luring berada di level sedang.
Hubungan Literasi Hoaks dan Partisipasi Politik
Program Officer Riset Mafindo, Nuril Hidayah, menyatakan ada korelasi positif antara literasi hoaks dan partisipasi politik. “Semakin tinggi literasi hoaks seseorang, semakin besar pula partisipasinya dalam aktivitas politik,” katanya.
Hal senada diungkapkan Finsensius Yuli Purnama, anggota tim riset Mafindo. Ia menambahkan, mayoritas masyarakat mendapatkan informasi politik melalui portal berita online, namun kepercayaan terhadap informasi dari media sosial masih cukup tinggi, mencapai 31,9%.
Hoaks dan Demokrasi
Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, menegaskan bahwa hoaks menjadi tantangan serius bagi demokrasi. “Survei ini adalah bagian dari komitmen Mafindo untuk memperkuat literasi digital di tengah maraknya penyebaran informasi palsu yang mengancam stabilitas sosial dan politik,” katanya.
Septiaji berharap hasil survei ini dapat menjadi dasar bagi pemerintah, lembaga pendidikan, media, dan organisasi masyarakat sipil untuk merancang strategi efektif dalam meningkatkan literasi digital dan melawan hoaks.
Tantangan Media Sosial
Penanggap lain, Indriyatno Banyumurti dari ICT Watch, menyoroti peran media sosial sebagai penyebar utama hoaks. “Sebanyak 52,2% netizen Indonesia tidak memverifikasi informasi yang diterima melalui media sosial. Walau kesadaran terhadap hoaks meningkat, kemampuan memverifikasi informasi masih rendah,” ungkapnya.
Berdasarkan survei, platform media sosial seperti Facebook dan portal berita online menjadi sumber utama informasi masyarakat, meski sering kali menjadi medium penyebaran hoaks.
Mafindo menyimpulkan bahwa edukasi publik tentang literasi hoaks sangat mendesak, terutama menjelang tahapan pemilu mendatang yang rawan terhadap kampanye bermuatan ujaran kebencian, SARA, dan hoaks. Data lengkap survei ini dapat diakses melalui situs resmi Mafindo, mafindo.or.id.