Gorontalo, mimoza.tv – Penanganan kasus korupsi di Provinsi Gorontalo kembali menjadi sorotan tajam. Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Peduli Daerah (AMMPD) menilai aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, tidak menunjukkan komitmen nyata dalam membongkar praktik rasuah yang merugikan negara dan rakyat.
Koordinator AMMPD, Rahmat Mamonto, menilai bahwa kinerja aparat hukum masih jauh dari harapan masyarakat. Ia menyebutkan, jaksa dan polisi seharusnya bersikap tegas, tak pandang bulu, dan berhenti bermain aman dalam menangani perkara korupsi.
“Kalau memang ada oknum bupati, atau mantan bupati yang terlibat, proses dong! Jangan pilih kasih. Rakyat muak melihat hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” tegas Rahmat, yang juga selaku Ketua LSM Solidaritas Pemuda Anti Korupsi Prov Gorontalo Selasa (8/4/2025).
Ia membandingkan, meski belum ideal, kejaksaan setidaknya masih menunjukkan nyali dengan membawa satu-dua kasus ke Pengadilan Tipikor setiap tahun. Sementara kepolisian, menurutnya, seperti kehilangan arah dan nyaris tak terdengar gaungnya dalam pemberantasan korupsi.
“Di Polda Gorontalo ada tujuh proyek yang sudah jelas-jelas terindikasi korupsi. Hasil audit BPK sudah di tangan. Tapi sampai hari ini, tidak ada kepastian hukum. Diam, seolah tak terjadi apa-apa,” ungkap Rahmat geram.
Ironisnya, hal serupa juga terjadi di Polres Limboto. Dua kali pergantian Kapolres pun belum cukup mendorong penuntasan satu pun kasus korupsi ke pengadilan.
“Kami bertanya-tanya, sebenarnya ada apa? Apakah hukum di Gorontalo hanya berlaku untuk rakyat kecil? Kasus jalan di tempat, tapi para tersangka masih bebas berkeliaran. Ini bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat,” sambungnya.
Rahmat juga menyoroti kasus dugaan korupsi Tunjangan Kinerja Intensif (TKI) DPRD Tahun Anggaran 2023 yang kini tengah diusut Kejaksaan. Ia menegaskan, siapa pun yang terlibat harus segera diseret ke pengadilan tanpa kecuali.
“Jangan ada perlindungan terhadap oknum. Kejaksaan harus berani membuka borok ini sampai ke akar-akarnya. Hukum harus berdiri tegak, bukan dipermainkan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa penyalahgunaan wewenang jabatan adalah kejahatan serius yang diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2014.
“Pejabat publik yang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok itu penjahat, bukan pemimpin. Dan para penegak hukum yang mendiamkannya, sama saja ikut dalam kejahatan,” tandas Rahmat.
Penulis: Lukman.