Oleh: DR. Apriyanto Nusa
Polemik Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) di Kelurahan Tenda, Kecamatan Hulonthalangi, Kota Gorontalo tak lagi sekadar urusan ketertiban wilayah. Ia sudah masuk ke jantung persoalan hukum tata ruang dan berpotensi menyeret aktor-aktor pemerintahan ke ranah pidana. Dalam kasus ini, bukan hanya para pedagang yang mengubah fungsi ruang yang patut dimintai pertanggungjawaban, tetapi juga pejabat yang membiarkan pelanggaran itu terus berlangsung.
Pelanggaran Tata Ruang adalah Tindak Pidana
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah menegaskan bahwa penataan ruang merupakan kewenangan negara yang didelegasikan kepada pemerintah pusat dan daerah (Pasal 7 ayat 2). Kota Gorontalo sendiri mengaturnya melalui Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2019–2039.
Perda ini secara tegas melarang perubahan fungsi ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Dalam Bab XII Pasal 128 huruf a disebutkan bahwa siapa pun yang melanggar RTRW dan menyebabkan perubahan fungsi ruang, akan dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Secara spesifik, Pasal 69 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2007 mengancam pidana penjara hingga 3 tahun dan denda maksimal Rp500 juta bagi pelanggar tata ruang.
Dalam hal ini, Blok H.3 dan H.4 SWP H di Kelurahan Tenda telah ditetapkan sebagai zona PPI berdasarkan Peraturan Walikota Gorontalo Nomor 44 Tahun 2021 (Pasal 10 ayat 1 huruf c dan ayat 4). Namun di lapangan, kawasan ini justru berubah fungsi menjadi pasar umum. Ini jelas pelanggaran hukum yang serius.
Pasif Bukan Netral: Pemerintah Provinsi Bisa Dikenai Pidana
Pelanggaran fungsi ruang oleh pedagang memang merupakan tindakan yang secara langsung melanggar hukum. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah sikap pasif Pemerintah Provinsi Gorontalo yang justru berpotensi menempatkan mereka sebagai pihak yang turut serta dalam tindak pidana.
Meski pemerintah provinsi tidak secara formal menerbitkan izin yang bertentangan dengan RTRW (sehingga tidak melanggar Pasal 73 UU Penataan Ruang), sikap diam dan membiarkan pelanggaran tetap berlangsung dapat dikategorikan sebagai pembantuan tindak pidana (Pasal 56 ayat 2 KUHP). Artinya, pejabat provinsi bisa dianggap memberi kesempatan bagi para pelaku untuk terus melakukan pelanggaran terhadap tata ruang yang sudah ditetapkan.
Terlebih lagi, pemerintah kota sebagai pemilik RTRW telah mengirimkan surat peringatan sebanyak tiga kali kepada Gubernur agar menghentikan aktivitas pasar liar di kawasan PPI tersebut. Fakta ini memperkuat bahwa gubernur atau pejabat provinsi telah diberi tahu secara resmi, namun tetap membiarkan pelanggaran terus berjalan. Dalam konstruksi hukum pidana, sikap pasif dalam kondisi seperti ini bukan lagi bentuk kelalaian administratif, melainkan dapat ditafsirkan sebagai bentuk kesengajaan tidak langsung (dolus eventualis).
Penegakan Hukum Tata Ruang Harus Menyasar Semua Pihak
Dalam doktrin hukum pidana, deelneming atau penyertaan mencakup tidak hanya pelaku utama (pleger), tetapi juga pihak-pihak yang membantu terjadinya tindak pidana, termasuk dengan memberikan fasilitas, kesempatan, atau membiarkan pelanggaran terjadi.
Karena itu, dalam kasus ini, para pedagang dapat dikategorikan sebagai pelaku langsung, sementara pejabat provinsi yang membiarkan pelanggaran tersebut bisa dimintai pertanggungjawaban sebagai pembantu tindak pidana. Jika penegakan hukum tata ruang hendak dijalankan secara serius dan adil, maka tidak boleh ada kekebalan atas dasar jabatan.
Penutup
Pelanggaran tata ruang adalah pelanggaran terhadap kepentingan publik. Ketika kawasan PPI disalahgunakan dan pemerintah provinsi memilih diam, maka yang dikorbankan bukan hanya dokumen RTRW, tetapi juga hukum itu sendiri. Jika Gubernur terus membiarkan pelanggaran ini berlangsung meski sudah tiga kali diperingatkan secara resmi oleh Pemerintah Kota, maka tidak berlebihan jika publik menuntut pertanggungjawaban pidana.