Jakarta, mimoza.tv – Ketika hoaks menyebar lebih cepat daripada cahaya, para pemeriksa fakta justru makin sering menjadi sasaran ancaman. Kini, bukan hanya kebenaran yang diuji, tapi juga keberanian mereka yang memilih berdiri di barisan paling depan.
Ancaman terhadap pemeriksa fakta di Indonesia kian nyata. Dari doxing, tekanan hukum, hingga kekerasan digital, mereka yang bekerja di balik layar untuk meluruskan informasi justru kerap dibungkam oleh pihak-pihak yang tak suka pada kebenaran.
Hal ini menjadi sorotan utama dalam audiensi Koalisi Cek Fakta bersama Dewan Pers, Selasa (3/6/2025). Koalisi yang terdiri dari AMSI, AJI, dan MAFINDO itu datang membawa kegelisahan sekaligus desakan: sudah saatnya negara hadir melindungi para penjaga kebenaran ini.
“Survei kami menunjukkan, dari 38 responden pemeriksa fakta, 10 orang pernah menerima ancaman langsung. Ini bukan angka kecil. Bahkan ada yang sampai harus mengungsi ke rumah aman,” ujar Direktur Eksekutif AMSI, Felix Lamuri.
Ia menyebut, intimidasi muncul terutama saat mempublikasikan konten sensitif seperti isu politik, kesehatan, hingga Pemilu. Tak sedikit dari mereka yang mengalami trauma, enggan menulis lagi, bahkan memilih mundur dari profesi.
Mereka yang Bekerja dalam Sunyi, Tapi Diburu Seperti Musuh
Koordinator AJI Indonesia, Naharin Ni’matun, bahkan menyebut bahwa para pemeriksa fakta kini rawan dikriminalisasi melalui UU ITE. Karena itu, AJI mengusulkan agar mereka diakui sebagai Human Rights Defender (HRD).
“Mereka perlu pendampingan, SOP perlindungan, hingga akses ke bantuan hukum dan konseling. Pemeriksa fakta bukan musuh negara. Mereka justru benteng terakhir dari rusaknya demokrasi,” tegas Naharin.
Sementara itu, dari pihak MAFINDO, Aribowo Sasmito mencatat adanya tren kembali naiknya serangan terhadap jurnalis dan pemeriksa fakta, terutama lewat doxing nomor pribadi, ancaman somasi, hingga serangan digital sistematis.
Dewan Pers: Saatnya Pemetaan, Siapa yang Harus Kita Lindungi
Anggota Dewan Pers, Abdul Manan, menegaskan pentingnya klasterisasi pemeriksa fakta. Apakah mereka berlatar belakang jurnalis atau bukan, status tersebut akan menentukan bentuk dan mekanisme perlindungannya.
“Kita perlu peta yang jelas. Perlindungan berbeda akan dibutuhkan oleh pemeriksa fakta yang berasal dari jurnalis dan yang bukan. Ini penting agar perlindungan tidak salah sasaran,” ujar Manan.
Usulan Jejaring Pengaman: Kolaborasi Demi Keselamatan
Dukungan juga datang dari Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ). Melalui koordinatornya, Erick Tanjung, diusulkan pembentukan jejaring advokasi bagi pemeriksa fakta non-jurnalis, bekerja sama dengan PBHI, YLBHI, dan lembaga hukum pro bono lainnya.
Audiensi ini bukan sekadar pertemuan formal. Ia menjadi momen penting untuk menyusun peta ancaman, mekanisme perlindungan, dan rencana aksi yang dapat dijalankan di level lokal maupun nasional.
Koalisi berharap, dari ruang pertemuan ini, lahir komitmen nyata dari pemerintah, aparat, hingga masyarakat sipil untuk berdiri bersama mereka yang memilih kebenaran, meski harus berjalan dalam bayang-bayang ancaman.
Catatan Redaksi:
Di tengah banjir informasi dan gempuran hoaks, pemeriksa fakta adalah lentera kecil yang terus menyala. Kini, lentera itu butuh perlindungan agar tak padam sebelum waktunya.