Gorontalo, mimoza.tv – Ketegangan di Timur Tengah kembali memuncak. Setelah serangan udara yang dilancarkan Amerika Serikat, Pemerintah Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz—jalur strategis yang menjadi nadi utama distribusi minyak dunia.
Ancaman ini kini menunggu keputusan akhir dari Dewan Keamanan Nasional Iran. Jika benar dilakukan, langkah ini akan menjadi yang pertama sejak konflik panjang Iran-Israel yang bermula pada 1979.
Selat Hormuz menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab dan Samudra Hindia. Sekitar 20 juta barel minyak mentah—setara seperlima dari konsumsi global—mengalir setiap hari melalui selat ini. Negara-negara besar penghasil minyak seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, UEA, hingga Qatar sangat bergantung pada jalur sempit ini.
Dampak potensi penutupan tidak lagi hanya menyasar Barat seperti era sebelumnya. Kini, negara-negara Asia termasuk China disebut bakal menanggung beban paling berat.
China Diminta Turun Tangan
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, dalam wawancara dengan Fox News, meminta Pemerintah China untuk menekan Iran agar tidak menutup selat tersebut. Pasalnya, China merupakan pelanggan utama minyak Iran dan memiliki hubungan erat dengan Teheran.
“Saya mendorong China untuk menghubungi Iran, karena mereka sangat bergantung pada Selat Hormuz untuk pasokan minyak mereka,” tegas Rubio.
Menurutnya, keputusan Iran menutup selat justru akan menjadi langkah ‘bunuh diri ekonomi’. Iran merupakan produsen minyak terbesar ketiga di OPEC dengan output 3,3 juta barel per hari. Dari jumlah itu, sekitar 1,84 juta barel diekspor—mayoritas melewati Selat Hormuz.
“Memutus jalur tersebut berarti memutus pendapatan utama mereka sendiri,” ujar analis minyak utama Kpler, Matt Smith.
Harga Minyak Melonjak
Pasca serangan AS, harga minyak global langsung merespons. Lonjakan lebih dari 2% tercatat di pasar dunia, memicu kekhawatiran akan gangguan pasokan.
Lembaga Goldman Sachs dan firma konsultan Rapidan Energy bahkan memperkirakan harga minyak bisa melonjak di atas US$100 per barel jika penutupan berlangsung lama.
Situasi ini menempatkan dunia dalam siaga penuh terhadap potensi krisis energi global, di tengah ketegangan geopolitik yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
Penulis: Lukman.