Gorontalo, mimoza.tv – Kepala Daerah yang dilantik Februari 2025 nyaris tak punya waktu mewah. Alih-alih lima tahun bekerja penuh, kalender birokrasi hanya menyisakan sekitar dua tahun efektif—dan itu pun penuh tekanan politik, anggaran, hingga rutinitas birokrasi yang menggerus ruang gerak.
Akademisi dan pengamat kebijakan publik dari Universitas Negeri Gorontalo, Dr. Funco Tanipu. ST. MA, mengungkap hitungan sederhana namun menohok. Dari total 1.826 hari masa jabatan, hanya sekitar 738 hari kerja efektif tersisa jika dihitung tanpa akhir pekan, libur nasional, cuti bersama, dan hari besar keagamaan.
Namun dalam praktiknya, ruang strategis Kepala Daerah untuk mengeksekusi visi hanya berkisar di tahun 2026 dan 2027 saja. Itu pun jika perencanaan dilakukan sejak sekarang.
“Sering kali Kepala Daerah merasa punya waktu lima tahun, padahal realitasnya hanya sekitar dua tahun. Bahkan dalam siklus perencanaan dan anggaran, waktu strategis itu tinggal sekitar 15 bulan saja,” ungkap peraih Doktor Covid 19 pertama di Indonesia ini saat diwawancarai, Jumat (11/7/2025).
Visi Besar Terhalang Agenda Politik dan Rutinitas Birokrasi
Tahun pertama (2025) praktis hanya ruang transisi. Kepala Daerah mewarisi APBD yang telah disusun pemerintahan sebelumnya, sehingga ruang untuk menyisipkan program unggulan sangat terbatas. Tahun 2026 menjadi titik awal program sendiri—dan itu harus dipastikan masuk dalam RPJMD, KUA-PPAS, hingga APBD.
Namun tekanan mulai datang begitu memasuki 2028, di mana suhu politik nasional memanas menjelang Pemilu dan Pilpres. Sementara 2029 adalah tahun konsolidasi menjelang akhir masa jabatan di Februari 2030. Dengan kata lain, hanya dua tahun yang benar-benar “bersih” dari tarikan politik dan transisi.
“Kalau mengikuti ‘kebiasaan’ dalam tubuh pemerintah daerah, akan muncul drama: konflik Kepala Daerah dan wakilnya, tarik-menarik politik, atau stagnasi birokrasi. Itu semua bisa menyusutkan lagi ruang produktif,” jelas Funco, yang sejak 2005 kerap menjadi tenaga ahli dan staf khusus di Pemda dan DPRD.
Jangan Tawarkan Mimpi Besar, Bangun Dulu yang Nyata
Menurut Funco, kesalahan umum para Kepala Daerah adalah menjual mimpi besar—“kota religius”, “kabupaten mandiri”, “pusat ekonomi jasa”—namun lupa menyusun strategi teknis yang realistis dan berdampak langsung.
“Kalau tidak bisa bangun infrastruktur besar, ya bangun dulu datanya. Kalau belum bisa turunkan kemiskinan secara besar-besaran, ya kurangi dulu biaya hidup rakyat,” tegas.
Solusinya? Prioritas. Bukan banyak program, tapi fokus. Dua atau tiga program utama yang konkret dan bisa diwariskan. Seperti digitalisasi pelayanan dasar, pengendalian harga kebutuhan pokok, atau penyediaan air bersih.
Funco mengingatkan, sekarang adalah waktu emas untuk menyusun RPJMD dan RKPD 2026—dua dokumen vital yang jadi fondasi arah pembangunan selama sisa jabatan. Seluruh perencanaan harus dirancang cepat, efisien, dan selaras dengan kebutuhan publik serta kebijakan nasional.
“Jangan sampai 2026 masih disibukkan koordinasi atau program tidak nyambung. RPJMD dan RKPD harus langsung tajam ke sasaran. Quick win dulu. Dua tahun bukan waktu yang bisa dihamburkan,” katanya.
Inpres Efisiensi Dinilai Masih Seremonial
Menyoroti kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat, terutama Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2023, Funco menyebut masih banyak Pemda hanya menjalankan sebatas formalitas.
“Banyak yang hanya buat dokumen. Tidak ada perubahan nyata dalam anggaran atau cara kerja. Efisiensinya hanya administratif, bukan substansi,” tukasnya.
Bahkan menurutnya, tanpa pemangkasan program mubazir, pengalihan belanja ke kebutuhan publik, dan pemangkasan duplikasi antar-OPD, semangat efisiensi hanya tinggal jargon.
Viral Bukan Ukuran, Rakyat Butuh Dampak Nyata
Di era digital, banyak Kepala Daerah tergoda jadi selebritas birokrasi. Sibuk update Facebook, tampil di TikTok, dan berfoto setiap program diluncurkan. Namun Funco mengingatkan: rakyat tidak mencari pemimpin yang viral.
“Warga tidak butuh Kepala Daerah yang eksis di media sosial. Mereka butuh air bersih, harga beras yang masuk akal, dan layanan publik yang responsif,” tegasnya.
“Sejarah tidak mencatat Anda menjabat berapa lama. Sejarah mencatat, apakah rakyat merasakan perubahan ketika Anda menjabat,” pungkas Funco.
Penulis: Lukman.