Gorontalo, mimoza.tv – Publik menyambut baik langkah Kejaksaan Agung menetapkan MRH sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola migas di tubuh Pertamina. Langkah ini dianggap sebagai momentum penting untuk membongkar jaringan mafia migas yang selama ini dinilai telah menggurita, merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah.
Dalam kasus yang menyeret nama Riza Chalid, negara disebut-sebut mengalami kerugian sebesar Rp285 triliun selama periode 2018–2023. Kasus ini diyakini dapat membuka tabir praktik korupsi yang menjalar dari BUMN energi hingga ke daerah pelosok, termasuk Gorontalo.
Kejati Gorontalo Turut Bergerak
Tidak berhenti pada lingkaran hulu migas nasional, Kejaksaan Tinggi Gorontalo juga tengah menyelidiki dugaan korupsi dalam tata kelola migas di daerah. Skala kerugian negara yang ditimbulkan diduga mencapai ratusan miliar rupiah—jumlah yang tergolong besar untuk wilayah Gorontalo.
Kerugian tersebut diperkirakan berasal dari sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), khususnya Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), yakni pajak atas pemakaian bahan bakar cair atau gas untuk kendaraan dan industri. PBBKB diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009, dengan tarif antara 5–10 persen dari nilai jual bahan bakar sebelum pajak.
Berdasarkan data Dinas Pendapatan Daerah, konsumsi bahan bakar industri di Gorontalo berkisar 3.000–4.000 kiloliter per tahun. Bahan bakar jenis solar industri ini umumnya digunakan oleh sektor pertambangan, industri berat, serta pelabuhan.
Seorang pejabat di bidang pendapatan daerah mengungkapkan bahwa kepatuhan pengusaha migas terhadap pajak PBBKB masih rendah. Hal ini membuka celah penyimpangan yang berpotensi merugikan pendapatan negara.
Penyidikan Mulai Mengarah
Tim Pidana Khusus Kejati Gorontalo telah memulai penyelidikan dengan memanggil sejumlah pengusaha migas, termasuk yang berasal dari provinsi tetangga, Sulawesi Utara. Penyelidikan ini mengacu pada Surat Perintah Nomor PRINT-132/P.5.5/Fs.1/02/2025 tertanggal 11 Februari 2025. Dalam dokumen itu disebutkan adanya dugaan penyimpangan tata kelola migas di Gorontalo selama periode 2020–2025.
Sejumlah sumber menyebutkan bahwa minyak subsidi dari luar daerah diselewengkan dan dijual di Gorontalo sebagai solar industri. Praktik ini diduga berlangsung bertahun-tahun dan melibatkan rekayasa faktur pajak agar tampak legal di atas kertas.
“Modusnya mudah dikenali. Minyak ilegal dikemas ulang lalu dijual dengan faktur pajak baru. Tapi penyidik bisa menelusuri keabsahan faktur karena setiap transaksi resmi pasti disertai faktur pajak masukan dari pemegang izin niaga umum,” ungkap seorang pengusaha migas dari Manado.
Menurutnya, bila tidak membeli dari pemasok resmi seperti AKR atau Pertamina, maka patut diduga minyak tersebut ilegal—dan otomatis tidak akan tercatat sebagai penerimaan PBBKB bagi pemerintah daerah.
Potensi Kerugian Capai Ratusan Miliar
Modus semacam ini ditengarai telah berlangsung lebih dari lima tahun. Jika dihitung dari potensi serapan bahan bakar industri, kerugian negara dari sektor ini bisa mencapai sekitar Rp300 miliar—angka yang bahkan melampaui total Pendapatan Asli Daerah (PAD) sejumlah kabupaten/kota di Gorontalo.
Kini, publik menantikan langkah konkret dan berani dari Kejaksaan Tinggi Gorontalo. Jika berhasil menindaklanjuti temuan ini hingga ke meja hijau, kejaksaan di daerah ini akan menambah deretan prestasi Kejaksaan Agung dalam upaya pemberantasan korupsi, khususnya di sektor energi yang selama ini menjadi sarang praktik gelap. (red)