Gorontalo, mimoza.tv – Di tengah derasnya arus radikalisme yang kini makin lihai menari di ruang digital, Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Gorontalo justru memilih jalur yang tak biasa: sains dan matematika. Alih-alih hanya mengandalkan imbauan moral atau pendekatan keamanan, lembaga ini melangkah ke panggung akademik internasional dengan karya ilmiah yang tajam sekaligus presisi.
Adalah karya berjudul “Unraveling the Impact of Treatment in Deradicalization: A Mathematical Model with Fractional Derivative” yang sukses menembus Symposium on Biomathematics (Symomath) 2025—ajang ilmiah bergengsi yang akan digelar secara luring di Universitas Airlangga, Surabaya, pada 29–30 Juli 2025 mendatang.
Ditulis oleh tim peneliti FKPT Gorontalo yang dipimpin Dr. Hasan S Panigoro, M.Si, bersama tiga koleganya—Dr. Funco Tanipu, ST., M.A, Dr. Dikson Yasin, MH, dan Dr. Kusmawaty Matara, M.Si—karya ini mengusung pendekatan matematika turunan fraksional untuk mengukur efektivitas program deradikalisasi. Sebuah pendekatan yang, jika diterjemahkan bebas, berusaha memahami rumitnya perubahan perilaku pasca-intervensi dengan rumus-rumus saintifik.
Dalam surat resminya, Ketua Panitia Symomath 2025, Dr. Windarto, M.Si, menyatakan bahwa karya tim FKPT Gorontalo telah diterima untuk dipresentasikan. Ini bukan sekadar prestasi pribadi, tapi juga pengakuan bahwa narasi perlawanan terhadap ekstremisme bisa—dan harus—berangkat dari meja laboratorium, bukan sekadar panggung seremoni.
Menurut Dr. Hasan Panigoro, yang juga Sekretaris LP2M Universitas Negeri Gorontalo, model matematika ini bukan untuk menyaingi ceramah agama atau narasi moderat, tetapi justru menjadi pelengkap penting. “Kami ingin sediakan alat bantu konkret bagi lembaga negara dan masyarakat sipil dalam merancang intervensi yang lebih akurat, terutama di dunia maya yang ritmenya sangat cepat,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua FKPT Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, menambahkan bahwa menghadapi radikalisme siber tak bisa hanya dengan larangan dan pelabelan. “Butuh kombinasi antara teknologi, budaya, dan ilmu pengetahuan,” katanya.
Prestasi ini datang di saat yang krusial. Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan bahwa ruang digital telah menjadi ladang subur penyebaran ideologi ekstrem, intoleransi, hingga propaganda kekerasan. Gorontalo sendiri masih berada di zona oranye secara nasional—tidak darurat, tapi jelas bukan hijau.
Jika tak diimbangi langkah-langkah cerdas dan terukur, kita hanya akan menjadi penonton di tengah algoritma yang membiakkan kebencian.
Rencananya, setelah presentasi di forum Symomath 2025, makalah lengkap ini akan diajukan ke Springer Proceedings in Mathematics and Statistics—salah satu prosiding terindeks Scopus yang banyak dijadikan rujukan global dalam bidang biomatematika.
Lewat jalur akademik yang senyap tapi berdampak, FKPT Gorontalo membuktikan bahwa perlawanan terhadap radikalisme tidak melulu harus dengan peluit dan baliho. Kadang, senjata terbaik justru berbentuk rumus diferensial—yang bisa menjelaskan bagaimana satu pikiran bisa berubah, dan kapan sebuah ideologi bisa dipulihkan. (rls/luk)