Gorontalo, mimoza.tv – Di balik geliat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang digadang-gadang sebagai simbol kemajuan Indonesia, praktik prostitusi diam-diam mulai merebak. Sepanjang tahun 2025, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) telah menertibkan sedikitnya 64 perempuan yang diduga sebagai pekerja seks komersial (PSK) di kawasan sekitar IKN, Kalimantan Timur.
Mengutip laporan CNN Indonesia, para perempuan itu tidak hanya berasal dari kota-kota terdekat seperti Samarinda dan Balikpapan, namun juga datang dari luar Pulau Kalimantan, seperti Bandung, Makassar, dan Yogyakarta. Mereka masuk ke wilayah IKN melalui berbagai jalur, menyasar kantong-kantong pekerja konstruksi dan urbanisasi baru yang muncul akibat pesatnya pembangunan.
Satpol PP telah memberikan peringatan keras kepada mereka yang tertangkap, meminta agar segera meninggalkan wilayah IKN dalam kurun waktu 2 hingga 3 hari. Namun, belum ada informasi pasti mengenai langkah lanjutan yang bersifat preventif dan berkelanjutan dari pemerintah daerah setempat.
Realitas Lama di Wajah Baru
Fenomena ini mengingatkan pada sejarah panjang Jakarta—ketika statusnya masih sebagai ibu kota negara. Pada dekade 1970-an hingga awal 2000-an, praktik serupa pernah merebak dan bahkan difasilitasi lewat pembukaan lokalisasi, meski selalu dibayangi polemik moral dan sosial.
Bedanya, di IKN saat ini, pemerintah tampaknya masih memegang pendekatan represif ketimbang preventif. Tidak ada tempat yang secara resmi diperuntukkan bagi aktivitas tersebut, namun arus urbanisasi yang masif dan minimnya perlindungan sosial bagi perempuan pendatang berpotensi membuat praktik prostitusi kembali menjadi “profesi terpaksa” demi bertahan hidup.
Tantangan Sosial di Balik Ambisi Infrastruktur
Pembangunan IKN tak hanya menghadirkan tantangan fisik dan birokrasi, tetapi juga dilema sosial yang mesti dijawab secara serius oleh negara. Masuknya ribuan tenaga kerja laki-laki dari berbagai daerah membuka ruang bagi munculnya kebutuhan-kebutuhan dasar yang tidak semuanya dapat dijawab oleh fasilitas resmi.
Sosiolog dan pengamat perkotaan menilai, keberadaan praktik prostitusi di tengah pembangunan besar bukan hal baru. Yang menjadi persoalan adalah: apakah negara siap mengantisipasi efek sosial dari megaproyek tersebut? Ataukah ini akan menjadi pengulangan dari masa lalu, dengan wajah dan lokasi yang berbeda?
Catatan Redaksi:
Berita ini ditulis bukan untuk menghakimi para perempuan yang terlibat, namun untuk menyoroti absennya kebijakan sosial yang komprehensif dalam proses pemindahan ibu kota negara. Pembangunan fisik yang megah perlu diimbangi dengan pembangunan manusia dan perlindungan kelompok rentan. Jika tidak, wajah baru ibu kota hanya akan menjadi replika dari masalah lama yang terus diabaikan.
Penulis: Lukman.