Oleh: Dr. Aryanto Husain
“Manusia dilahirkan merdeka, tetapi di mana-mana ia terbelenggu,” kata filsuf Jean-Jacques Rousseau.
Ungkapan ini bisa jadi menjadi pelecut semangat para pejuang kemerdekaan Indonesia saat itu, yang selanjutnya diperingati setiap tahun dalam HUT Proklamasi. Namun dibalik bendera merah putih yang berkibar, dan gegap gempita kegembiraan merayakan kemerdekaan, terselip sebuah paradoks.
Mengapa semangat kebangsaan begitu terasa pada hari peringatan, tetapi sering memudar dalam keseharian? Tidak terkecuali bagi ASN. Paradoks ini menjadi tantangan nyata, yaitu bagaimana mempertahankan nyala semangat kemerdekaan agar terus menyala, bahkan setelah perayaan selesai.
Paradoks peringatan kemerdekaan terjadi karena adanya inersia psikologis. Setelah periode euforia, kita cenderung kembali ke zona nyaman dan rutinitas. Prioritas pribadi kembali mendominasi, dan semangat pengabdian kolektif seolah-olah terlupakan. ASN adalah perpanjangan tangan negara di tengah masyarakat.
Guru yang sabar mendidik murid di sekolah pelosok, perawat di puskesmas desa, pegawai di kantor pelayanan yang ramah melayani masyarakat, merupakan wajah negara yang sesungguhnya di ruang publik.
Makna “kemerdekaan bagi seorang ASN adalah tidak membiarkan kekurangan dan keterbatasan menjadi alasan untuk berhenti memberi yang terbaik.
Namun, tidak jarang ASN menghadapi godaan perilaku. Ada yang memilih jalan pintas ketimbang bekerja optimal, menunda pekerjaan karena merasa beban terlalu banyak, atau sekadar menjalankan tugas sebagai rutinitas tanpa semangat pengabdian.
Sebagaimana individu lainnya, ASN juga kerap diperdaya oleh bias kognitif. Ada yang memilih kenyamanan sesaat. Present bias ini mendorong mereka pulang lebih cepat atau sekadar memenuhi target minimum—daripada dampak jangka panjang pelayanan publik yang lebih baik.
Ada juga ASN yang merasa aman dan nyaman dengan cara kerja yang business as usual, pola lama. Status quo bias ini membuat mereka menjadi tidak produktif, enggan berinovasi saat layanan mereka membutuhkan terobosan baru.
Ada juga yang selalu khawatir, takut kehilangan kenyamanan pribadi. Loss aversion ini membuat mereka menjadi tidak terbuka, transparan, dan tidak mau bekerja bersama dalam satu team work.
Bagi ASN, Merdeka seharusnya bukan sekedar simbol, bukan tentang sekedar ikut dalam upacara pengibaran bendera. ASN merdeka tidak berhenti pada simbol berlanjut pada tindakan nyata, bekerja dengan antusias penuh produktif dan kreatif. Merubah pelayanan publik dari melayani dengan wajah masam menjadi sapaan penuh keramahan.
Seremoni peringatan HUT Kemerdekaan adalah nudge, dorongan halus, yang mengingatkan kita akan pengorbanan para pendiri bangsa. Rasa kebangsaan tidak boleh hanya menguat saat momentum besar, lalu meredup. ASN perlu menerjemahkan nilai kemerdekaan ini ke dalam kehidupan sehari-hari, dalam pekerjaan dan pengabdiannya, tercermin dalam rasa dan pikirannya.
Rasa memberi energi emosional untuk mencintai tanah air. Fikiran menuntun agar cinta itu tidak berhenti pada simbol, tetapi diwujudkan dalam kebijakan pribadi yang rasional dan berkelanjutan. Dengan menggabungkan keduanya, pengabdian terhadap negara tidak lagi sekadar seremoni tahunan, tetapi menjadi praktik sehari-hari.
Peringatan HUT Proklamasi adalah cermin paradoks: antara rasa yang menggelegak dan fikiran yang menuntut konsistensi, antara simbol dan realitas, antara seremoni dan pengabdian. Dengan memahami bias-bias perilaku, ASN diajak untuk menjadikan setiap momentum kemerdekaan bukan sekadar ritual, melainkan titik awal memperkuat pengabdian nyata bagi bangsa dan negara.
ASN Merdeka tidak larut dalam euforia perayaan, bergembira, terharu, bahkan bangga, tapi menjadikan semua itu mewujud dalam aksi pengabdian nyata bagi negara dan masyarakat.