Gorontalo, mimoza.tv – Pemerintah pusat tengah menggeber Program Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP) sebagai salah satu prioritas pembangunan pesisir. Lewat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 55/2025 yang diteken 3 September lalu, ditetapkan 65 lokasi tahap pertama dengan target rampung Desember 2025. Anggaran jumbo disiapkan: Rp22 miliar per kampung atau total Rp2,2 triliun yang bersumber dari APBN tambahan.
Ambisi besar ini jelas menghadirkan harapan baru bagi masyarakat nelayan. Namun, fakta di lapangan mengisyaratkan bahwa urusan KNMP tidak hanya soal beton dan dermaga, tetapi juga tata kelola, kapasitas lokal, hingga dinamika sosial-politik di daerah penerima.
Program Strategis Presiden, Instruksi Langsung ke Daerah
Seriusnya pemerintah pusat ditegaskan lewat surat Dirjen Perikanan Tangkap KKP, Lotharia Latif, Nomor B.729/MEN-DJPT/PI.420/IX/2025 tertanggal 30 September 2025. Surat itu menyebut KNMP sebagai program prioritas Presiden yang sejalan dengan Asta Cita II dan VI: meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menciptakan lapangan kerja.
Surat itu tidak hanya ditujukan ke kepala daerah, melainkan juga ke Forkopimda lengkap—mulai Gubernur, DPRD, Kapolda, Kajati hingga Pangdam di 25 provinsi dan 60 kabupaten/kota. Salah satunya adalah Kelurahan Leato Selatan, Kecamatan Dumbo Raya, Kota Gorontalo.
Polemik di Kota Gorontalo
Alih-alih berjalan mulus, justru di Gorontalo program ini menuai polemik. Sejak diumumkan, KNMP di Leato Selatan memunculkan protes warga dan tarik-ulur dengan Pemerintah Kota Gorontalo. Persoalan utamanya terletak pada penentuan lahan dan pengelolaan aset. Perdebatan yang sempat viral di media sosial itu menunjukkan bahwa program prioritas bisa tersandera oleh tarik-menarik kepentingan lokal jika komunikasi awal tidak dibangun dengan baik.
Akademisi: “Rawan Jadi Proyek Mercusuar”
Pandangan kritis datang dari Munirah Farida Tuli, S.Pi., M.Si, dosen Fakultas Kelautan UNG sekaligus kandidat doktor Universitas Hasanuddin. Ia menilai konsep KNMP menjanjikan, tetapi rawan jadi “proyek mercusuar” jika aspek tata kelola diabaikan.
“KNMP cenderung menitikberatkan fisik—dermaga, pabrik es, cold storage. Tapi bagaimana pengelolaannya setelah selesai? Tanpa skema bisnis, kontrak pembeli, pengelola profesional, dan aftercare anggaran, bangunan itu hanya akan jadi monumen dingin,” ujarnya.
Munirah menekankan, keberhasilan program tidak boleh diukur hanya dari selesainya bangunan, tetapi dari berjalannya sistem yang benar-benar meningkatkan kesejahteraan nelayan.
Kapasitas Lokal dan Risiko Konflik
Ia mengingatkan bahwa dengan target cepat di 65 lokasi, kapasitas lokal sering tak siap. Konstruksi mungkin rampung, tapi pengoperasian butuh SDM, prosedur, jaringan pemasok, hingga pencatatan stok.
Kendala lain ada di kelembagaan. Banyak desa pesisir sudah punya BUMDes atau koperasi. Kehadiran entitas baru “Koperasi Merah Putih” tanpa pembagian peran jelas bisa memicu rebutan aset dan kewenangan. Idealnya, program ini harus bermitra dengan lembaga lokal lewat perjanjian transparan.
Risiko Ekologis
Selain aspek sosial, Munirah juga mengingatkan risiko ekologis. Mengejar produksi tanpa rencana pengelolaan stok bisa berujung pada tekanan berlebihan terhadap sumber daya laut, degradasi habitat, bahkan konflik alat tangkap antar nelayan.
“Indikator keberhasilan seharusnya tidak berhenti pada volume atau transaksi, tetapi juga mencakup keberlanjutan ekologi dan kesejahteraan nelayan,” tegasnya.
90 Hari Pertama Penentu
Menurut Munirah, 90 hari pertama sejak penetapan lokasi sangat krusial. Masa itu harus dipakai untuk menyiapkan SOP, SDM, hingga kontrak pembeli sebelum fisik selesai. “Kalau fondasi legal, teknis, dan keuangan tidak kokoh sejak awal, masalah akan terbawa sampai proyek selesai,” jelasnya.
Ia juga mengusulkan pemerintah menyiapkan prosedur pembagian kewenangan yang jelas, dana pasca proyek untuk teknisi dan pelatihan manajer fasilitas, serta merilis dashboard publik berisi progres fisik, nilai kontrak, pemakaian fasilitas, dan keluhan warga.
Potensi Besar, Risiko Nyata
KNMP berpotensi menjadi tonggak penguatan ekonomi biru di desa pesisir. Namun tanpa transparansi bisnis, kontrak pasar yang pasti, dukungan operasional, dan tata kelola partisipatif, ia bisa terjebak jadi contoh ide baik yang gagal dijalankan.
Polemik di Kota Gorontalo adalah alarm dini bahwa program beranggaran triliunan rupiah ini bisa sukses—atau sekadar jadi proyek mercusuar.