Oleh : Dian Ekawaty Ismail
(Dosen Fakultas Hukum UNG dan Ketua DPW Dihpa Gorontalo)
Harga tiket pesawat kembali menjadi keluhan utama warga Gorontalo. Untuk rute Makassar–Gorontalo, satu-satunya maskapai yang beroperasi saat ini hanyalah Lion Air, dengan tarif berkisar Rp1,3 hingga Rp1,5 juta sekali jalan. Sementara itu, tiket Gorontalo–Jakarta bahkan bisa menembus lebih dari Rp3 juta untuk kelas ekonomi biasa.
Ini bukan sekadar soal ongkos perjalanan. Ini soal aksesibilitas dan keberlanjutan ekonomi daerah. Ketika hanya ada satu maskapai yang melayani satu rute utama, masyarakat kehilangan pilihan, sementara roda ekonomi ikut tersandera di langit yang mahal.
Konektivitas udara sejatinya adalah urat nadi ekonomi Gorontalo. Banyak sektor bergantung padanya, pelaku usaha, tenaga pengajar, mahasiswa, hingga tenaga medis. Namun dengan harga tiket yang tinggi, pergerakan manusia dan ide menjadi terbatas. Seorang pelaku UMKM yang ingin memasarkan produknya ke Makassar harus berpikir ulang. Begitu pula seorang dosen atau pelajar yang hendak menghadiri pelatihan di luar daerah. mereka kini menimbang bukan hanya waktu, tapi juga ongkos.
Keterbatasan mobilitas ini menciptakan efek domino yaitu transaksi antarwilayah menurun, kegiatan ekonomi melemah, dan daya saing daerah menurun. Padahal pembangunan tidak akan tumbuh tanpa pergerakan manusia, barang, dan pengetahuan.
Memang pada dasarnya, keterbatasan pilihan maskapai di Gorontalo berakar dari kondisi beberapa tahun silam. Kala itu, sejumlah maskapai memilih menarik diri karena permintaan penumpang dan pasar yang relatif kecil. Biaya operasional tidak sebanding dengan jumlah penumpang dan volume kargo yang terbatas.
Sebagaimana diberitakan oleh Antara News pada awal 2022, Garuda Indonesia sempat membatalkan sejumlah jadwal rute Jakarta–Makassar–Gorontalo karena tingkat keterisian pesawat hanya berkisar 10–15 persen. Kondisi itu menjadi gambaran bahwa pada masa itu, rute penerbangan ke Gorontalo belum dianggap menarik secara ekonomi bagi maskapai komersial.
Namun, konteks itu kini sudah jauh berbeda. Permintaan penerbangan meningkat signifikan seiring berkembangnya aktivitas ekonomi dan pariwisata. Banyak warga menggambarkan mencari tiket baik dari Gorontalo ataupun ke-Gorontalo kini seperti “war tiket konser”. Siapa cepat, dia dapat. Dengan hanya satu maskapai yang beroperasi setiap hari, banyak calon penumpang harus menunda perjalanan atau menanggung kerugian akibat perubahan jadwal mendadak.
Padahal di sisi lain, geliat pariwisata Gorontalo sedang berada di masa suburnya. Destinasi ekowisata seperti wisata hiu paus di Botubarani, wisata bahari Olele, dan lainnya kini ramai dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara.
Ironisnya, ketika pariwisata dan mobilitas ekonomi meningkat, akses udara justru menyempit. Saat ini, rute utama Makassar–Gorontalo hanya dilayani satu maskapai. Kondisi ini mempersempit pilihan, menaikkan harga tiket, dan menahan laju kegiatan ekonomi di tingkat lokal.
Padahal, di daerah lain, upaya pembukaan rute baru mulai dilakukan. Detik Travel mencatat bahwa Wings Air telah membuka rute baru Manado–Gorontalo–Palu untuk memperkuat konektivitas Sulawesi. Artinya, peluang itu ada, hanya saja diperlukan inisiatif dan lobi kuat dari pemerintah daerah agar Gorontalo tidak tertinggal dalam peta penerbangan nasional.
Secara hukum positif, aturan tentang harga tiket sebenarnya sudah jelas. Pemerintah telah menetapkan pedoman melalui Permenhub No. 126 Tahun 2015, yang kemudian diperbarui dengan Permenhub No. 20 Tahun 2019, serta Keputusan Menteri Perhubungan No. 106 Tahun 2019 mengenai tarif batas atas dan bawah untuk layanan kelas ekonomi. Terakhir, Kepmenhub No. 68 Tahun 2022 memberikan ruang bagi maskapai untuk menyesuaikan tarif karena kenaikan harga bahan bakar (fuel surcharge). Artinya, negara sudah memiliki rambu-rambu agar harga tiket tetap wajar dan tidak memberatkan publik. Namun, dalam praktiknya, realitas sering kali jauh dari seharusnya. Aturan ada, tetapi pengawasan dan intervensi harga di lapangan masih lemah. Akibatnya, masyarakat tetap harus membayar mahal untuk sekadar duduk di kursi pesawat.
Beberapa waktu lalu, publik Gorontalo ramai memperbincangkan soal pembangunan trotoar, juga isu yang memang penting bagi keteraturan kota. Namun perhatian pemerintah tidak boleh berhenti di permukaan jalan. Sudah waktunya kita menatap ke langit, sebab di sanalah denyut ekonomi Gorontalo sesungguhnya sedang tersendat.
Jika trotoar adalah simbol peradaban kota, maka penerbangan adalah simbol konektivitas daerah. Keduanya sama penting. Bedanya, satu membentuk wajah kota, satu lagi membuka pintu ekonomi. Namun, isu penerbangan kerap terlupakan, seolah tidak berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari. Padahal, harga tiket yang tinggi memengaruhi banyak sektor mulai dari perdagangan, pendidikan, pariwisata, hingga biaya sosial keluarga.
Pemerintah Provinsi Gorontalo perlu memandang serius persoalan ini. Tidak cukup hanya menyerahkan urusan tiket kepada maskapai dan Kementerian Perhubungan. Sebagai daerah otonom, Gorontalo memiliki ruang kebijakan yang bisa dimanfaatkan. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh, pertama, Pemprov bisa memfasilitasi pembukaan rute baru atau masuknya maskapai lain untuk menciptakan kompetisi harga yang sehat. Ke-dua, mendorong kerja sama dengan BUMD atau pihak swasta untuk mendukung subsidi rute tertentu. Ke-tiga, Melakukan evaluasi kajian transportasi udara daerah secara berkala sebagai dasar negosiasi dan lobi ke Kementerian Perhubungan dan pemerintah pusat.
Konektivitas udara bukan hanya urusan transportasi, melainkan soal pemerataan pembangunan. Ketika harga tiket tidak terjangkau, sektor wisata sepi, investor enggan datang, dan pertumbuhan ekonomi terhambat. Efeknya terasa langsung pada lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah daerah tidak perlu menunggu “angin pusat” untuk bergerak. Justru dengan data dan argumentasi yang kuat, Pemprov bisa memperjuangkan hak konektivitas masyarakat Gorontalo di tingkat nasional.
Konektivitas udara bukan hanya urusan transportasi, melainkan urusan keadilan ekonomi dan pelayanan publik. Dalam kerangka hukum publik, akses terhadap transportasi yang terjangkau merupakan bagian dari hak atas pelayanan umum yang dijamin oleh konstitusi. Karena itu, negara, baik pusat maupun daerah, memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memastikan harga tiket tidak menimbulkan ketimpangan sosial baru.
Sudah saatnya Gorontalo menatap langit dengan visi yang lebih tinggi. Kita boleh bangga dengan trotoar yang rapi, taman kota yang hijau, dan wajah kota yang tertata. Tapi pembangunan sejati bukan hanya soal menata bumi tempat kita berpijak, melainkan juga membuka langit agar ekonomi daerah bisa bertumbuh.
Harga tiket yang wajar bukan kemewahan. Itu kebutuhan dasar untuk bergerak, bekerja, dan menghidupkan ekonomi rakyat. Dengan keberanian kebijakan dan kemauan berinovasi, Gorontalo bisa lepas dari “isolasi udara” dan menjadikan langitnya kembali ramai. bukan sekadar dengan pesawat, tetapi juga dengan harapan.
			
		    


