Gorontalo, mimoza.tv – Di tengah ambisi menjaga Gorontalo sebagai salah satu lumbung jagung nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Gorontalo mengingatkan agar geliat produksi tidak mengorbankan keseimbangan alam.
Pesan itu mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Pentingnya Kajian dan Implementatif Budidaya Jagung di Lahan Miring”, yang digelar Selasa (4/11/2025). Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo, Wahyudin Katili, menegaskan perlunya riset mendalam dan lintas sektor sebelum mendorong ekspansi jagung di kawasan berkemiringan.
“Budidaya jagung di lahan miring ini memang problematis. Di satu sisi, kita butuh lahan untuk produksi. Tapi di sisi lain, tidak semua area di Gorontalo layak. Lahan makin terbatas, sementara tekanan untuk membuka lahan baru semakin tinggi,” ujarnya membuka diskusi.
Wahyudin menilai persoalan ini tidak bisa diselesaikan hanya lewat pendekatan teknis atau sektoral. Ia mendorong agar Bappeda, akademisi, dan peneliti bekerja bersama merumuskan kajian komprehensif yang tidak berhenti di atas kertas.
“Kami tidak ingin hasil kajian hanya jadi dokumen rekomendasi. Harus ada pemetaan titik krusial, sebab persoalan ini kompleks—menyentuh aspek sosial, ekonomi, hingga konservasi,” jelasnya.
Kerusakan Infrastruktur dan Lingkungan
Bappeda mencatat, praktik pembukaan lahan miring untuk jagung mulai memunculkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak kecil. Kerusakan infrastruktur seperti jalan desa, irigasi, hingga permukiman, semakin sering terjadi di wilayah dengan intensitas penanaman jagung yang tinggi.
“Kita lihat, biaya pembangunan dan perbaikan infrastruktur meningkat akibat dampak budidaya jagung di lereng. Ini bukan sekadar isu pertanian, tapi sudah menyentuh aspek tata ruang dan lingkungan hidup,” tegas Wahyudin.
Ia menambahkan, dampak ekologisnya juga mengkhawatirkan. Erosi, sedimentasi sungai, hingga penurunan daya dukung lahan menjadi ancaman nyata.
Dari Kajian ke Aksi Nyata
Wahyudin mengungkapkan bahwa Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail, meminta agar setiap kajian Bappeda bersifat implementatif—tidak berhenti sebagai bahan seminar, tetapi menjadi dasar langkah konkret di lapangan.
“Pak Gubernur menekankan pentingnya riset yang langsung bisa diimplementasikan. Kita tidak hanya mengenali masalah, tapi juga mencari solusi yang realistis,” ujarnya.
FGD tersebut dihadiri oleh akademisi, peneliti, dan praktisi pertanian yang diharapkan dapat memberikan masukan berbasis data dan pengalaman empiris.
Wahyudin berharap hasil kajian ini nantinya dapat menjadi panduan bagi pemerintah daerah dan pelaku usaha tani dalam menentukan arah kebijakan budidaya jagung yang lebih berkelanjutan.
“Ini bukan hanya soal hasil panen, tapi soal masa depan lahan dan generasi yang akan mewarisinya,” tutupnya.
Penulis: Lukman.



