Manado, mimoza.tv – Di antara hiruk pikuk Kota Manado yang dikenal sebagai “Kota Tinutuan”, tersimpan kisah yang nyaris tak terdengar: kisah tentang seorang permaisuri Jawa dan putranya yang mengakhiri hidupnya jauh dari istana, di tanah Minahasa yang damai.
Mereka adalah Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, permaisuri dari Sri Sultan Hamengkubuwono V, dan putranya, Pangeran Gusti Timoer Mohamad Suryeng Ngalaga. Dua nama bangsawan ini bukan sekadar jejak sejarah, tetapi juga simbol pertemuan budaya antara Jawa dan Sulawesi, antara kekuasaan dan pengasingan, antara istana dan rakyat kecil.
Jejak di Mahakeret
Di Kelurahan Mahakeret Timur (ada pula yang menyebut Mahakeret Barat), Kecamatan Wenang, Kota Manado, berdiri sebuah kompleks makam sederhana di dekat Sekolah Kristen Eben Heazer, Jalan Diponegoro.
Gapura kecil bertuliskan “Tempat Pemakaman Permaisuri Sri Sultan HB V, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton” menjadi penanda tempat bersemayam dua tokoh penting Kesultanan Yogyakarta.

Kanjeng Ratu Sekar Kedaton wafat pada tahun 1918 atau 1919, sementara putranya, Pangeran Gusti Timoer Mohamad Suryeng Ngalaga, telah lebih dahulu meninggal pada 1901. Keduanya dimakamkan berdampingan — satu nisan bertuliskan huruf Arab Pegon, satu lagi dengan ukiran aksara Latin, menandai harmoni dua dunia yang pernah mereka jejaki: Jawa dan Manado.
Kini, area pemakaman itu berstatus Cagar Budaya. Warga sekitar kerap membersihkan area makam, terutama menjelang bulan Ramadan atau Hari Pahlawan. Mereka tidak selalu tahu bahwa dua sosok di bawah nisan itu adalah darah biru dari Yogyakarta. Namun, bagi sebagian masyarakat Mahakeret, makam itu bagian dari identitas sejarah mereka — bukti bahwa Manado pernah menjadi tempat pelarian politik bangsawan Jawa.
Dari Istana ke Pengasingan
Kisah tragis ini berawal dari tahun 1855, ketika Sri Sultan Hamengkubuwono V wafat secara mendadak.
Saat itu, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton sedang mengandung. Tiga belas hari setelah kepergian sang Sultan, lahirlah Gusti Raden Mas Timur Muhammad, kelak bergelar Pangeran Gusti Timoer Mohamad Suryeng Ngalaga.
Namun kelahirannya justru menjadi awal badai baru di Keraton.
Karena lahir setelah ayahnya wafat, posisinya sebagai calon pewaris tahta diperdebatkan. Pihak kolonial Belanda — yang kala itu punya pengaruh besar dalam urusan Keraton — lebih memilih GRM Mustojo, adik Sultan HB V, untuk naik takhta dengan gelar Hamengkubuwono VI.
Sementara Sekar Kedaton dan putranya dianggap ancaman potensial terhadap stabilitas politik Kesultanan.
Intrik di balik dinding istana akhirnya berujung pada keputusan kejam: ibu dan anak itu diasingkan jauh ke Manado, daerah yang kala itu menjadi wilayah penting dalam jaringan kolonial Hindia Belanda di bagian timur.
Mengakar di Tanah Minahasa
Meski datang sebagai buangan politik, Ratu Sekar Kedaton dan putranya diterima dengan baik oleh masyarakat lokal. Sejarawan mencatat, keduanya menetap di kawasan Kampung Pondol, pusat permukiman Muslim di Manado kala itu.
Putra mahkota kecil itu tumbuh besar di tanah pengasingan, namun tak pernah kembali ke Yogyakarta.
Di sanalah mereka menjalani sisa hidupnya dengan sederhana — jauh dari kemegahan keraton, tetapi dekat dengan ketulusan rakyat biasa.
Hingga akhir hayat, masyarakat Manado mengenang mereka bukan sebagai bangsawan yang terbuang, melainkan sebagai bagian dari sejarah kota yang penuh warna.
Saksi Hubungan Dua Dunia
Kini, makam Sekar Kedaton dan putranya menjadi pengingat bahwa sejarah Nusantara bukan hanya tentang kerajaan dan peperangan, tapi juga tentang perjumpaan dan percampuran.
Manado menyimpan kisah tentang bagaimana kekuasaan bisa berpindah, tapi martabat tetap abadi.
Dalam setiap nisan dan doa di Mahakeret, ada cerita tentang cinta, kesetiaan, dan keteguhan seorang permaisuri yang memilih menjalani takdirnya dengan tenang.
Fakta Lokasi
- Lokasi: Kelurahan Mahakeret Timur (atau Mahakeret Barat), Kecamatan Wenang, Manado
- Koordinat: Dekat Sekolah Kristen Eben Heazer, Jalan Diponegoro
- Penghuni:
- Kanjeng Ratu Sekar Kedaton – Permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono V (wafat 1918/1919)
- Pangeran Gusti Timoer Mohamad Suryeng Ngalaga – Putra Sri Sultan Hamengkubuwono V (wafat 1901)
- Status: Cagar Budaya
- Kisah: Dibuang ke Manado oleh pemerintah kolonial Belanda akibat intrik politik Keraton Yogyakarta
- Penanda: Gapura bertuliskan “Tempat Pemakaman Permaisuri Sri Sultan HB V, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton”
Sumber Referensi



