Oleh: Lukman Polimengo.
Di sebuah sudut Kota Konoha, pedagang kaki lima menyalakan kompor portabel sambil menyiapkan kursi plastik yang selalu terdengar berderit tiap kali diduduki. Trotoar ramai. Kurs-kursi menghias badan jalan. Pembeli datang silih berganti. Suasananya menggembirakan—seolah-olah pertumbuhan ekonomi tengah berlangsung tepat di depan mata, di atas aspal, ditemani aroma Ilabulo bakar dan kopi.
Fenomena sederhana ini lantas dikaitkan, entah melalui jalur logika atau jalur perasaan, dengan laporan statistik dari Biro Pencatatan Angka Provinsi Konihi. Angka pertumbuhan yang naik beberapa persen tiba-tiba dianggap selaras dengan ramainya UMKM yang berjejer di trotoar. Seolah-olah PDRB bisa meningkat hanya karena wajan makin sering dipakai dan meja makin sering dilipat.
Inilah seni kaitologi—kemampuan unik untuk menghubungkan dua hal yang tidak memiliki hubungan langsung, lalu mengemasnya sebagai “fakta yang tak perlu diperdebatkan”.
Dalam kaitologi:
- Semangkuk bakso dianggap bukti daya beli pulih.
- Kopi dingin yang laris disebut sebagai indikator stabilitas ekonomi.
- Obrolan sampai jam dua malam di jalan dan trotoar konon bisa memengaruhi pertumbuhan tahunan.
Padahal, statistik tidak mengenal aroma Ilabulo.
Statistik tidak masuk ke tenda UMKM lalu mencatat suasana.
Statistik bekerja dengan disiplin: nilai tambah bruto, kontribusi sektoral, pengeluaran konsumsi rumah tangga, deflasi harga.
Namun di Konoha, narasi lebih penting daripada metodologi.
Pertanyaan yang justru absen dari euforia ini sebenarnya sangat sederhana: jika ekonomi memang tumbuh, seberapa besar serapan pangan lokal dari UMKM yang ramai itu?
Apakah setiap mangkuk mi yang dijual menggunakan produk petani Konoha?
Apakah ayam bakar yang memenuhi emperan itu dibeli dari peternak lokal?
Apakah pedagang kopi memakai biji kopi Konihi, atau semuanya impor dari platform e-commerce?
Jika memang UMKM menjadi “penyumbang signifikan”, maka seharusnya ada efek domino yang jelas:
- Petani lokal meningkat pendapatannya.
- Produksi pangan daerah naik.
- Rantai pasok makin kuat.
- Perputaran ekonomi betul-betul terjadi di dalam wilayah.
Namun, banyak UMKM di Konoha sekadar menjadi penjual produk siap pakai, bukan penggerak ekonomi lokal.
Sayuran datang dari luar.
Ayam dari luar kota.
Sambal instan dari pabrikan.
Biji kopi dari marketplace.
Jika serapan produk lokal hanya setipis saus sachet, bagaimana mungkin ekonomi daerah disebut tumbuh karena UMKM?
UMKM-nya ramai, iya.
Tapi apakah petani kopi di perbukitan Konihi merasakan dampaknya?
Atau hanya keramaian visual yang kemudian diangkat menjadi mitos pertumbuhan?
Kaitologi punya kemampuan luar biasa untuk menyederhanakan kompleksitas ekonomi menjadi cerita menarik. Dan karena cerita itu indah, publik mudah percaya. Padahal, pertumbuhan ekonomi yang sejati tidak terletak pada ramainya trotoar, tetapi pada seberapa besar masyarakat paling bawah—petani, nelayan, pedagang kecil—merasakan manfaatnya.
Sebab ekonomi bukan tepuk tangan, bukan obrolan kafe, bukan pula permainan angka.
Ekonomi adalah realitas: siapa yang bekerja, siapa yang menikmati hasilnya, dan siapa yang masih tertinggal.
Di Konoha, mungkin secangkir kopi bisa masuk ke tabel statistik.
Tapi di kehidupan nyata, kesejahteraan tidak pernah tumbuh dari kaitologi. Yang tumbuh dari kaitologi hanyalah puji-pujian.



