Jakarta, mimoza.tv – Gelombang demonstrasi yang berlangsung sejak Kamis (28/8/2025) di sejumlah daerah turut diwarnai penyebaran hoaks di media sosial. Informasi palsu itu memperkeruh suasana, menambah ketidakpastian, bahkan memicu eskalasi kekerasan.
Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) menilai, hoaks yang beredar belakangan ini semakin masif. Salah satunya berupa video kerusuhan di Baghdad yang diklaim terjadi di Jakarta, serta kabar bohong tentang penjarahan di Gedung DPR dan Mal Atrium Senen.
Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, menyebut sejumlah hoaks bahkan sudah menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) berupa deepfake, sehingga sulit dibedakan dari fakta. “Akibatnya muncul ketidakpastian, kemarahan, hasutan kebencian, dan aksi kekerasan,” ujar Septiaji di Yogyakarta, Minggu (31/8/2025).
Mafindo menyampaikan beberapa sikap:
- Mendukung kebebasan berpendapat
Demonstrasi merupakan hak konstitusional masyarakat dalam negara demokrasi. Namun, kebebasan berekspresi tidak boleh dibungkus dengan kekerasan. - Menolak aksi anarkis
Baik aparat maupun demonstran diminta menghentikan tindak kekerasan. “Menjarah adalah tindak pidana pencurian dan harus dijauhi,” tegas Septiaji. - Digital activism sebagai ruang baru
Aksi massa kini tidak hanya berlangsung di jalanan, tetapi juga di ruang digital. Banyak netizen melakukan live report di media sosial sebagai alternatif informasi dari media mainstream. Mafindo menegaskan, pembatasan live report adalah bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. - Waspada disinformasi dan persekusi digital
Masyarakat diminta tidak mudah terprovokasi oleh misinformasi, disinformasi, maupun hasutan kebencian. Septiaji juga mengingatkan soal risiko doxing atau penyebaran data pribadi tanpa izin, serta ancaman serangan siber.
Mafindo berharap gelombang demonstrasi tidak lagi berubah menjadi kekerasan, baik di jalanan maupun di ruang digital. “Saatnya kita kembali bergandeng tangan menata Indonesia ke depan, merajut kebersamaan,” pungkas Septiaji. (rls/luk)