Gorontalo, Mimoza.tv – Menjelang Pilkada 2024, netralitas kepala desa dan aparat desa menjadi sorotan tajam. Dengan hanya empat hari tersisa menuju pemungutan suara, sejumlah pihak tidak bertanggung jawab ditengarai siap “menghalalkan segala cara,” termasuk melibatkan kepala desa dalam politik praktis. Hal ini tidak hanya mencederai demokrasi, tetapi juga melanggar hukum dengan konsekuensi serius.
Apa Kata Undang-Undang?
Kepala desa dan perangkat desa diwajibkan bersikap netral, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) huruf g UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Larangan ini meliputi segala bentuk keterlibatan dalam kampanye atau dukungan kepada kandidat tertentu.
Lebih tegas lagi, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada pada Pasal 71 ayat (1) melarang kepala desa dan aparat desa mengambil tindakan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon. Jika aturan ini dilanggar, ancaman hukumannya tidak main-main: pidana penjara 1 hingga 6 bulan dan denda Rp600.000 hingga Rp6 juta, sebagaimana tercantum dalam Pasal 188.
Aturan Tambahan: Perbawaslu Nomor 6 Tahun 2023
Tak hanya ancaman pidana, pelanggaran netralitas juga dapat berujung pada sanksi administratif. Berdasarkan Perbawaslu Nomor 6 Tahun 2023, kepala desa atau aparat desa yang terbukti melanggar dapat direkomendasikan untuk diberhentikan dari jabatannya.
Netralitas Demi Demokrasi Bersih
Pelanggaran netralitas bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga berpotensi memecah belah masyarakat dan merusak integritas Pilkada. Oleh karena itu, masyarakat diminta berperan aktif melaporkan segala bentuk intervensi atau keterlibatan kepala desa dan perangkat desa dalam politik praktis.
Mari bersama menjaga Pilkada 2024 tetap bersih, jujur, dan adil demi masa depan demokrasi Indonesia. Ingat, hukum berlaku bagi siapa saja tanpa pandang bulu!
Penulis : Lukman.