Jakarta, mimoza.tv – Dunia jurnalistik Asia Pasifik tengah berdiri di simpang jalan yang penuh peluang sekaligus ancaman. Di tengah pusaran kecerdasan buatan (AI) yang terus menggeliat, para jurnalis, akademisi, dan pegiat media lintas negara berkumpul di Jakarta, menyatukan suara dan strategi dalam konferensi CTRL+J APAC 2025.
Acara yang digagas AMSI, AJI, dan IFPIM ini berlangsung selama tiga hari, 22–24 Juli 2025, di Hotel Le Meridien, Jakarta. Hari kedua menjadi titik krusial — bukan sekadar diskusi, tapi juga refleksi mendalam: Apakah AI siap menggantikan naluri jurnalistik? Atau justru, para jurnalislah yang harus mendidik AI agar lebih adil dan beragam?
Jurnalis Jadi Newsfluencer, Tapi Tak Tinggalkan Etika
Salah satu wajah baru jurnalisme digital adalah Jacque Manabat, jurnalis multimedia asal Filipina. Lewat sesi “The State of Play in APAC”, Jacque menjelaskan bagaimana ia mengemas berita lewat TikTok — sebuah pendekatan segar yang mendekatkan informasi pada Gen Z, tanpa meninggalkan prinsip dasar jurnalistik.
“Kami tetap memverifikasi, tetap beretika, hanya saja dengan bentuk cerita yang lebih visual dan cepat,” ujar Jacque.
AI Tak Netral: Keadilan Data Jadi Isu Global
Dalam sesi yang sama, Irendra Radjawali dari Kyoto University memecahkan ilusi soal AI. Ia mengingatkan bahwa sebagian besar model AI dilatih oleh data yang “didikte” oleh Barat dan programmer kulit putih. Artinya? Bias budaya dan pengetahuan tak terelakkan.
“AI bukan makhluk netral. Ia membawa bias pembuatnya,” tegas Irendra.
Australia Patok Dana Rp1,5 Triliun untuk Media, Indonesia Kapan?
Dalam sesi “Compensation Strategies”, Nelson Yap dari Australia mengungkap betapa serius negaranya menjaga ekosistem media. Pemerintah mereka bahkan menyuntikkan dana AUD 99 juta (sekitar Rp1,5 triliun) dalam tiga tahun untuk mendukung organisasi berita.
Tak cuma itu, lewat News Bargaining Code, Australia memaksa raksasa digital seperti Google dan Meta untuk berbagi kue keuntungan.
“Kami lawan dominasi platform. Kanada sempat diboikot, tapi Australia melawan balik,” kata Nelson.
Bahasa Jawa dan Ambon Masuk LLM? AI Tak Lagi Serba Inggris
Sesi “Amplifying Diverse Voices” memperlihatkan gebrakan di balik layar. Dr. Leslie Teo memperkenalkan proyek SEA-Lion, model bahasa besar (LLM) yang kini mulai memahami bahasa daerah seperti Jawa, Ambon, dan lainnya.
Sementara Ayu Purwarianti dari ITB membawa kabar gembira: Proyek Nusa Dialogue kini mendokumentasikan puluhan bahasa daerah langsung dari para penuturnya.
“Bahasa adalah identitas. AI tak bisa dibiarkan hanya bicara Inggris atau Mandarin,” ujar Ayu.
Jangan Biarkan Bot Rampok Karya Jurnalis
Sesi terakhir, “Publisher’s Preparedness in the Era of AI”, mengungkap sisi gelap lain AI: perampokan konten. Sergio Spagnuolo dari Brasil memaparkan bahwa hanya 5–6% situs media di Indonesia dan Brasil yang memblokir bot AI lewat file robots.txt. Bandingkan dengan AS yang sudah mencapai 35%.
“Kami akan merilis alat bantu agar penerbit bisa tentukan sendiri bot mana yang boleh lewat,” ujarnya.
Sementara itu, Matt Prewitt dari RadicalxChange mengingatkan pentingnya jurnalis memagari konten mereka dengan lisensi dan hak kontrol.
“Jika tak dikontrol, pasar akan mengabaikan media. Kita akan kehilangan basis dukungan publik,” katanya.
AI Datang, Tapi Jurnalisme Tak Boleh Mati
CTRL+J APAC 2025 bukan sekadar konferensi, tapi medan kontestasi: antara kecepatan teknologi dan kedalaman manusia. Di tengah arus otomatisasi dan algoritma, satu pesan menguat: jurnalisme harus tetap relevan, etis, dan inklusif — bahkan ketika yang membaca bukan lagi manusia, tapi mesin. (rls/luk)