Dr. Funco Tanipu, ST., M.A
(Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Gorontalo, Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo)
Nahdlatul Ulama (NU) kembali menjadi pusat perhatian setelah sejumlah dinamika internal—mulai dari perbedaan penafsiran ketentuan kelembagaan hingga ketidaksinkronan pelaksanaan keputusan organisasi—muncul ke ruang publik. Dalam perspektif sosiologi organisasi, fenomena seperti ini lazim terjadi pada institusi besar yang memiliki struktur berlapis dan jaringan luas. Mintzberg (1993) dan Scott (2014) menyebutnya sebagai fase governance adjustment, yakni proses penyesuaian tata kelola ketika organisasi merespons kompleksitas lingkungan dan perubahan kebutuhan internal. Namun, pada NU, dinamika administratif tidak pernah berhenti sebagai urusan internal; statusnya sebagai simbol otoritas moral dan jangkar moderasi Islam menyebabkan setiap ketidaksinkronan mudah dibaca publik sebagai sinyal yang menyentuh stabilitas sosial-keagamaan Indonesia.
Literatur yang menelaah NU secara historis menegaskan bahwa ketegangan internal merupakan bagian inheren dari proses adaptasi organisasi besar. Van Bruinessen (1994, 1996) menunjukkan bahwa NU sejak awal merupakan arena kontestasi wacana dan relasi kuasa antara tradisi dan modernitas. Fealy (1998, 2003) menemukan bahwa dinamika tersebut juga dipengaruhi tekanan negara, pergeseran strategi elite, serta perubahan lanskap politik nasional dari 1950-an hingga era pasca-Orde Baru. Sementara itu, Bush (2009) mencatat bagaimana Reformasi membuka babak baru fragmentasi otoritas, dan Hefner (2000) memosisikan NU sebagai pilar civil Islam yang terus bernegosiasi dengan tuntutan demokratisasi. Rangkaian kajian ini menunjukkan bahwa fluktuasi internal NU bukanlah anomali, melainkan karakter struktural organisasi besar dengan basis sosial luas dan mandat moral yang kompleks.
Implikasi dari dinamika tersebut terasa pada tingkat persepsi publik. NU tidak dipandang sekadar sebagai ormas, tetapi sebagai penjaga keseimbangan keberagamaan Indonesia. Survei Litbang Kompas (2023) menunjukkan bahwa 49,6 persen responden secara spontan mengasosiasikan NU sebagai organisasi Islam paling menonjol; 31,4 persen menilai NU meningkatkan sikap keberagamaan yang toleran; dan 43,5 persen memandang NU sebagai penguat ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Temuan ini memperlihatkan bahwa stabilitas internal NU berkorelasi langsung dengan rasa aman sosial dan harapan publik terhadap moderasi Islam. Karena itu, setiap dinamika internal di tubuh NU—betapapun sifatnya teknis—berpotensi dipersepsi sebagai gejala yang lebih dalam, membuka peluang interpretasi yang keliru serta ruang bagi kelompok ekstrem untuk memanfaatkan ketidakpastian tersebut dalam membangun narasi delegitimasi moderasi.
Basis Sosial NU dan Persepsi Publik
Keterkaitan antara dinamika internal dan persepsi publik semakin jelas ketika menilik basis sosial NU yang sangat besar. Besarnya harapan terhadap NU tidak dapat dilepaskan dari posisi sosialnya yang sangat dominan, sehingga memberikan gambaran empiris bahwa NU tidak hanya besar secara demografis, tetapi juga dipersepsikan sebagai kekuatan moderasi yang paling berpengaruh di Indonesia Poltracking Indonesia (2021) mencatat bahwa 41,9 persen responden merasa sebagai Nahdliyin secara kultural. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC, 2022) menunjukkan bahwa 20,3 persen warga Indonesia mengaku sebagai anggota NU, dengan komposisi 8,6 persen anggota aktif dan 11,7 persen anggota tidak aktif. Data ini menunjukkan bahwa NU bukan hanya besar secara simbolik, tetapi juga secara keanggotaan yang nyata.
Survei lebih mutakhir menegaskan peningkatan signifikan dalam identitas ke-NU-an masyarakat. Survei Alvara Research Center (2023) mencatat bahwa 59,2 persen umat Islam Indonesia merasa dekat dengan NU, sementara 39,6 persen menyatakan diri sebagai anggota NU. Puncak penguatan identitas ini terlihat dari hasil survei LSI (Denny JA) tahun 2023 yang menunjukkan bahwa 56,9 persen warga Indonesia merasa sebagai bagian dari NU, meningkat hampir dua kali lipat dari temuan 2005. Ketika angka-angka tersebut dikaitkan dengan tren penurunan potensi radikalisme nasional yang dilaporkan BNPT—yakni dari sekitar 12,2 persen pada 2020 menjadi sekitar 10 persen pada 2022—maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan basis moderat NU memiliki implikasi langsung pada peningkatan ketahanan masyarakat terhadap radikalisme.
Data ini bukan hanya statistik sosial, tetapi bukti bahwa NU adalah benteng moderasi terbesar di Indonesia. Dalam perspektif keamanan, semakin besar basis NU, semakin tebal pula lapisan sosial yang menjadi penyangga terhadap ideologi kekerasan. NU berfungsi sebagai national buffer terhadap ekstremisme, terutama karena kultur sosialnya yang inklusif dan kemampuan organisasionalnya menjangkau masyarakat akar rumput.
Kerentanan Informasi dan Tantangan bagi Moderasi Dari struktur sosial tersebut diatas, tampak bahwa NU memiliki posisi strategis dalam pembentukan persepsi publik. Namun, ruang informasi digital yang semakin cair menghadirkan tantangan baru. Berbagai pola operasi kelompok radikal menunjukkan bahwa mereka tidak selalu menyerang secara langsung, tetapi memanfaatkan celah kecil dalam wacana publik untuk membangun narasi alternatif. Ketika terjadi dinamika di tubuh NU, kelompok ini memproduksi interpretasi negatif, menciptakan keraguan publik terhadap kepemimpinan, dan mencoba menanamkan gagasan bahwa ormas moderat tidak lagi relevan. Strategi ini sejalan dengan strategic influence operations dan narrative insurgency (Snow & Soule, 2010), di mana kelompok ekstrem berusaha meredefinisi realitas sosial agar menguntungkan kepentingan ideologis mereka.
Amit dan Al Kafy (2022) menunjukkan bahwa kelompok ekstrem memanfaatkan ketidakstabilan sosial maupun kelembagaan untuk menargetkan anak muda melalui pesan-pesan religius yang rigid. Sementara Santoso (2021) menunjukkan bahwa media sosial menjadi arena utama bagi radikalisasi identitas, terutama ketika otoritas moderat seperti NU tampak mengalami turbulensi internal.
Dalam konteks dinamika internal NU yang hangat beberapa waktu terakhir, kelompok ekstrem dapat melihatnya sebagai peluang untuk melakukan delegitimasi. Mereka menggunakan potongan narasi, kutipan yang dilepaskan dari konteks, atau framing insinuatif yang menggiring persepsi bahwa moderasi keagamaan sedang kehilangan arah. Temuan Chalmers (2017) memperkuat hal ini, bahwa ekstremis di Indonesia kerap memanfaatkan momen ketidakpastian dalam ormas moderat untuk memperluas ruang wacana radikal. Pendekatan ini merupakan bentuk grey-zone exploitation, sebagaimana dijelaskan Sydes et al. (2023), yaitu strategi yang memanfaatkan ketidakpastian informasi untuk merongrong institusi moderat dari dalam ruang publik.
Indeks Potensi Radikalisme (IPR) yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2023 – 2024 menunjukkan bahwa kerentanan radikalisme di Indonesia bergerak mengikuti perubahan pola konsumsi informasi keagamaan dan dinamika otoritas sosial. IPR nasional berada pada angka 11,7 (2023) dan 11,6 (2024)—stagnan pada tingkat sedang—namun pola kerentanannya sangat jelas: anak muda, perempuan, serta netizen yang aktif mencari atau menyebarkan konten keagamaan adalah segmen dengan tingkat risiko tertinggi. Lebih dari 62% Gen Z dan Milenial mencari konten agama secara online, dan kelompok ini menunjukkan peningkatan potensi radikalisme lebih besar dibanding kelompok yang tidak aktif.
Laporan Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri menambah lapisan kompleksitas yang tidak dapat diabaikan. Data Densus 88 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024 ditemukan 43.204 konten ekstremisme digital yang tersebar di berbagai platform, dengan mayoritas menarget generasi muda (Densus 88 AT, 2025). Pola rekrutmen pun bergeser, dari struktur organisasi besar menjadi komunitas-komunitas kecil berbasis minat dan kajian online. Di sisi lain, pendanaan terorisme mulai memanfaatkan aset kripto yang sulit dilacak, sementara sebagian eks-narapidana terorisme tetap mempertahankan ideologi keras dan berpotensi membangun jaringan baru. Semua ini menunjukkan bahwa radikalisme hari ini semakin cair, terdesentralisasi, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.
Dalam konteks ini, dinamika internal NU memperoleh makna strategis. NU adalah salah satu sumber otoritas keagamaan paling dipercaya dan mempunyai basis sosial yang sangat luas. Ketika terjadi perbedaan penafsiran kewenangan, ketidaksinkronan prosedur, atau ketegangan administratif di tubuh NU, ruang publik sering kali membacanya jauh melampaui substansi teknisnya. Fenomena ini menciptakan cognitive opening, yakni ruang keraguan yang membuka peluang manipulasi oleh aktor ekstrem. Kelompok radikal memanfaatkan situasi ini untuk menjalankan narrative insurgency—mengemas dinamika internal NU seolah-olah sebagai krisis otoritas atau melemahnya moderasi. Strategi ini bekerja terutama pada kelompok yang sudah terpetakan rentan berdasarkan survei BNPT dan Densus 88 AT Mabes Polri: anak muda digital yang intens mengonsumsi konten keagamaan singkat, perempuan yang menjadi pusat pengasuhan nilai di keluarga.
Dengan demikian, temuan BNPT RI dan Densus 88 AT Mabes Polridan dinamika NU sesungguhnya saling bertaut dalam kerangka ketahanan nasional. Data tersebut menunjukkan siapa yang rentan; dinamika NU menjelaskan bagaimana kerentanan itu dapat dieksploitasi. Ketika NU stabil, narasi moderat memiliki jangkar yang kuat; tetapi ketika terjadi turbulensi persepsi, ruang digital yang tidak terkurasi menjadi arena penetrasi ideologi kekerasan. NU, sebagai aktor moderat terbesar, bukan hanya memiliki peran teologis, tetapi juga fungsi strategis sebagai penyangga utama terhadap radikalisasi. Karena itu, stabilitas tata kelola dan konsistensi komunikasi NU tidak hanya penting bagi warganya, tetapi telah menjadi bagian integral dari arsitektur pencegahan radikalisme nasional.
Dalam lanskap ancaman seperti ini, dinamika internal NU tidak bisa dianggap remeh. Gangguan terhadap legitimasi NU dapat memperbesar risiko bahwa kelompok-kelompok intoleran mengisi ruang kepercayaan yang kosong dengan narasi yang lebih ekstrem.
NU sebagai Deradicalisation Engine dalam Ketahanan Sosial
Di tengah kompleksitas tersebut, peran NU sebagai penjaga moderasi semakin menemukan signifikansinya. Sejumlah kajian akademik mengonfirmasi bahwa NU merupakan salah satu aktor non-negara paling penting dalam menjaga ketahanan sosial-keagamaan Indonesia. Hefner (2000), melalui konsep civil Islam, menegaskan bahwa NU memainkan peran sentral dalam membentuk kultur kewargaan yang inklusif dan toleran, sehingga mampu meredam penetrasi ideologi keagamaan yang bersifat eksklusif dan kekerasan. Barton (2002) juga menunjukkan bahwa tradisi dakwah kultural NU, yang menekankan akhlak, kemanusiaan, dan penerimaan terhadap keberagaman, telah lama berfungsi sebagai penyangga sosial yang mencegah munculnya radikalisme berbasis identitas. Perspektif ini dikuatkan oleh temuan Haris (2020) bahwa pendekatan dakwah humanis NU menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai titik balik penting dalam pencegahan radikalisasi.
Peran deradikalisasi NU juga berakar kuat dalam tradisi kelembagaannya, terutama pesantren. Van Bruinessen (1994, 1996) menegaskan bahwa pesantren NU merupakan reservoir tradisi Aswaja yang bersifat moderat, adaptif, dan terhubung erat dengan kehidupan sosial masyarakat. Tradisi keilmuan ini menjadikan pesantren sebagai benteng ideologis yang efektif dalam menahan laju penyebaran doktrin kekerasan. Fealy (2003) menambahkan bahwa jejaring ulama, kiai, dan struktur sosial NU memiliki kapasitas yang sangat kuat dalam membentuk daya tahan komunitas terhadap ideologi ekstrem, karena mereka bekerja melalui mekanisme pengaruh kultural dan otoritas moral yang telah mengakar di tingkat akar rumput. Selaras dengan itu, penelitian Rahman dan Sari (2022) memperlihatkan bagaimana pesantren NU mengintegrasikan nasionalisme keagamaan dan nilai moderasi sebagai bagian dari kurikulum dan habitus sosialnya.
Pada saat yang sama, NU juga memainkan peran strategis dalam ruang digital dan ranah domestik—dua arena yang kini menjadi sasaran utama radikalisasi. Bush (2009) menunjukkan bahwa kekuatan NU terletak pada kemampuan organisasionalnya menjangkau komunitas luas dan meredam polarisasi identitas. Di ranah keluarga, penelitian Mustaniroh et al. (2025) menemukan bahwa organisasi perempuan NU seperti Muslimat dan Fatayat berkontribusi signifikan dalam deteksi dini gejala radikalisasi. Dalam konteks ruang digital, Sutanto (2023) menunjukkan bahwa NU bersama Muhammadiyah telah membangun ekosistem kontra-narasi yang efektif untuk menandingi propaganda ekstremisme daring.
Jika berbagai temuan ini dirangkum, terlihat jelas bahwa NU berfungsi sebagai “deradicalisation engine” yang bekerja di banyak lapisan sekaligus: dari pesantren ke sekolah, dari masjid ke keluarga, dari pengajian lokal hingga ruang digital. Peran ini menjadikan stabilitas internal NU bukan hanya urusan organisasi, tetapi urusan ketahanan nasional.
Menjaga NU, Menjaga Indonesia : Stabilitas NU sebagai Kepentingan Nasional
Keseluruhan gambaran diatas menunjukkan bahwa Nahdlatul Ulama bukan hanya persoalan tata kelola organisasi, melainkan bagian dari kepentingan strategis bangsa. Dengan basis sosial yang luas dan legitimasi moral yang telah mengakar, NU berperan sebagai penyangga utama moderasi Islam di tingkat komunitas. Ketika NU berada dalam keadaan solid dan dipercaya, arus moderasi mengalir lebih kuat ke masyarakat, memperkokoh daya tangkal terhadap pandangan keagamaan yang eksklusif dan intoleran. Sebaliknya, ketika muncul ketidakselarasan internal, ruang persepsi publik dapat terganggu dan memberikan celah bagi tumbuhnya narasi tandingan yang lebih keras.
Dalam konteks ancaman radikalisme yang terus bertransformasi, dinamika internal NU perlu ditata dengan kehati-hatian serta kepekaan terhadap dampaknya bagi ruang sosial yang lebih luas. Penyesuaian kelembagaan yang diperlukan harus disertai komunikasi yang jernih dan terarah agar tidak membuka ruang bagi distorsi atau manipulasi informasi. Di tengah berkembangnya pola rekrutmen ekstremisme melalui ruang digital, komunitas berbasis minat, dan mekanisme pendanaan baru, peran NU—melalui pesantren, lembaga pendidikan, jaringan ulama, dan organisasi perempuan—menjadi semakin penting sebagai benteng sosial yang menjaga keberlanjutan moderasi.
Pada akhirnya, dinamika yang terjadi di tubuh NU harus dipahami sebagai bagian dari proses pematangan sebuah organisasi besar yang hidup dalam lingkungan sosial yang berubah cepat. Namun, proses tersebut tetap perlu dikelola secara serius karena stabilitas NU berkaitan langsung dengan upaya menjaga ruang publik yang damai dan inklusif. Selama NU mampu mempertahankan kredibilitas dan keteguhan perannya sebagai rumah moderasi, Indonesia memiliki peluang lebih besar untuk menghadapi tantangan radikalisme dengan ketahanan yang lebih kuat. Menjaga NU, pada akhirnya, berarti menjaga salah satu fondasi penting bagi keberlangsungan kehidupan kebangsaan yang beradab.



