Oleh : Muhammad Makmun Rasyid (Pengurus BPET MUI Pusat, Dewan Ahli ISNU)
Ada yang perlu diluruskan dari cara berpikir Meys Kiraman. Dalam “membela keterlibatan” mantan Ketua Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Provinsi Gorontalo dalam seleksi jabatan Sekretaris Daerah (Sekda), ia membuat perbandingan yang menyesatkan: menyamakan eks HTI dengan mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ini bukan hanya kekeliruan logika, melainkan juga bentuk pengaburan ideologis yang berbahaya bila dibiarkan berkembang di ruang publik.
HTI bukan sekadar organisasi biasa. Ia dibubarkan secara resmi oleh negara melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 karena membawa misi ideologis yang terang-terangan menolak Pancasila, demokrasi, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. HTI mengusung sistem khilafah dan secara terbuka mengampanyekan perubahan total sistem politik Indonesia. Posisi ini bukan sekadar opini, tetapi telah diklasifikasikan sebagai ancaman konstitusional oleh negara dan ditindak melalui langkah hukum.
Membandingkan HTI dengan GAM adalah kekeliruan fatal. GAM memang pernah mengangkat senjata, tetapi negara menyelesaikannya melalui mekanisme perdamaian resmi: MoU Helsinki 2005. Proses rekonsiliasi dan reintegrasi eks kombatan GAM ke dalam sistem politik nasional dilakukan secara sah dan terbuka dalam kerangka hukum. HTI tidak pernah menjalani proses serupa. Tidak ada penyelesaian ideologis, tidak ada reintegrasi formal, dan tidak ada pertobatan kolektif. Menyamakan keduanya sama saja dengan menyamakan pemberontakan bersenjata yang sudah didamaikan, dengan gerakan ideologis laten yang masih aktif dalam jaringan sosial dan birokrasi.
Lebih berbahaya lagi, Meys Kiraman mencoba meringankan keterlibatan itu dengan argumen bahwa “organisasinya yang dilarang, bukan individunya.” Padahal, ketika seseorang pernah memegang posisi puncak dalam organisasi yang dilarang karena bertentangan dengan Pancasila, keterlibatannya bukan persoalan personal semata—melainkan indikator langsung dari orientasi ideologis yang layak diuji dan dikoreksi. Terlebih jika tak ada satu pun pernyataan resmi yang menunjukkan penolakan terhadap ideologi yang pernah ia perjuangkan.
Yang juga patut dikritisi adalah penggunaan SKCK sebagai tameng legalitas. SKCK hanya menyatakan bahwa seseorang tidak memiliki catatan kriminal, bukan bahwa ia bersih secara ideologis. SKCK bukan alat validasi kesetiaan terhadap Pancasila, dan tidak dapat digunakan untuk membungkam kritik terhadap jejak ideologis calon pejabat publik. Menjadikannya alasan untuk meloloskan seorang eks pengurus HTI ke dalam seleksi jabatan strategis adalah penyederhanaan prosedural yang sangat membahayakan sistem birokrasi negara.
Apalagi negara sudah bersuara tegas. Surat Edaran Bersama Menteri PANRB dan Kepala BKN Nomor 2 Tahun 2021 secara eksplisit menyebut HTI sebagai organisasi terlarang, dan melarang seluruh ASN berafiliasi, mendukung, menjadi simpatisan, atau menggunakan simbol-simbol yang berkaitan dengannya. Dengan dasar ini, keterlibatan masa lalu dalam HTI—apalagi dalam posisi kepemimpinan—yang tidak pernah diklarifikasi secara ideologis, cukup menjadi alasan etis dan administratif untuk mendiskualifikasi seseorang dari jabatan publik.
Ironisnya, pembelaan terhadap situasi ini tidak hanya datang dari figur seperti Meys Kiraman, tetapi juga dari Alpian Biga, kader muda PDIP, yang menyatakan bahwa Bupati Gorontalo Sofyan dan Wakil Bupati Tonny tidak dapat disalahkan karena baru dilantik pada 20 Februari 2025 dan hanya mewarisi proses tambahan pendaftaran Sekda. Ini adalah klaim yang menyederhanakan persoalan struktural yang lebih besar.
Benar bahwa proses tambahan itu dibuka oleh pemerintahan baru. Namun itu tidak membebaskan kepala daerah dari tanggung jawab atas proses yang berjalan dalam lingkup wewenangnya. Apalagi jika nama yang masuk ke dalam daftar calon Sekda pernah tercatat sebagai Ketua HTI Gorontalo—fakta yang bukan hanya publik, tetapi juga sangat relevan secara ideologis.
Yang harus dipahami oleh publik, dan oleh Alpian Biga secara khusus, adalah bahwa dalam setiap proses seleksi jabatan publik strategis, kepala daerah selalu memiliki akses, tanggung jawab, dan wewenang penuh atas informasi yang berkaitan dengan kelayakan para calon. Pengetahuan atas rekam jejak ideologis seseorang bukan sekadar prosedur administratif, melainkan bagian dari penjagaan konstitusi.
Seorang Bupati tidak mungkin tidak mengetahui siapa yang masuk dalam bursa tiga besar calon Sekda. Jika ia mengetahui dan tetap diam, maka itu adalah bentuk pembiaran. Jika ia tidak mengetahui, maka itu adalah bentuk kelalaian. Keduanya sama-sama berbahaya.
Dengan demikian, dalih bahwa “ini hanya warisan” atau “karena baru dilantik” tidak dapat dijadikan alasan pembenaran. Justru karena ini berada di masa awal pemerintahan, seharusnya integritas ideologis dan ketegasan terhadap calon pejabat publik lebih dijaga ketat. Karena seleksi Sekda bukan hanya tentang kompetensi administratif, tapi juga tentang kesetiaan terhadap konstitusi.
Jika toleransi terhadap jejak ideologi anti-Pancasila dibiarkan hanya karena alasan administratif dan loyalitas politik, maka kita bukan sedang menjalankan demokrasi, tetapi sedang mengikis batas antara kesetiaan konstitusional dan kompromi kekuasaan. Dan dalam urusan ideologi negara, diam adalah bentuk kompromi—dan kompromi adalah awal dari keruntuhan.